Evolusi Kinetika
Seniman : Aji Ardoyono
Variable Dimensions
Kinetic Installation
2023
Kurator: Samuel Bonardo
Mutasi Kinetika: Dialog Realitas dan Disrupsi Delusi
Pernahkan Anda pernah melihat capung? Bagaimana dengan helikopter? Karya Aji Prasetyo yang berjudul Mutasi Kinetika adalah salah satu usaha untuk mengejawantahkan relasi alam dan teknologi. “Tiada yang baru di bawah matahari,” adalah kutipan terkenal dari kitab Pengkhotbah. Seperti helikopter yang terinspirasi dari capung, karya ini seolah mengingatkan kembali bahwa sejauh apapun progres dan inovasi umat manusia, alam ada di sana lebih dulu. Namun jika arah inovasi teknologi bergerak menentang keselarasan dengan alam, lantas apa yang akan menjadi inspirasi bagi inovasi teknologi nantinya?
Karya ini menyediakan sarana untuk merefleksikan perubahan alam. Aji membekukan pengalamannya ketika menyadari perubahan di kampung halaman dalam puluhan tahun. Waktu pulang kampung ke Jombang yang lalu, ia tidak bisa menemukan populasi capung batu yang akrab dalam memori masa kecilnya. Capung batu (Rhinocypha fenestrata) adalah capung kecil dengan warna-warni mengkilap yang menjadi predator bagi hama kecil tanaman padi. Dalam suatu ekosistem, capung juga menjadi bioindikator alami untuk mengetahui kebersihan air karena larvanya tidak bisa tumbuh di air yang tercemar. Benar saja, belakangan ia tahu bahwa irigasi di sawah itu telah terkontaminasi limbah pabrik gula tebu yang tidak sempat terolah dengan bijak.
Entah sejak kapan persisnya manusia meliyankan diri dari alam, mungkin sejak ada kitab Kejadian. Dasar pemikiran zaman Kegelapan yang mencerabut manusia dari alam itu, sejak awal era Modern hingga kini senantiasa berkelindan dengan kepentingan kapital. Gagasan ini terus-menerus mengendalikan kesadaran subtil manusia untuk berinovasi demi menjamin kelanggengan-Nya. Gejala perubahan iklim, ancaman krisis pangan, dan kepunahan spesies adalah dampak yang bisa diamati dan dirasakan oleh siapapun yang hidup pada saat ini.
Informasi tentang perubahan temperatur permukaan bumi yang ekstrem bisa kita validasi dengan pengalaman kita di luar maupun di dalam ruang pameran. Begitu pula tentang fenomena kenaikan permukaan air laut juga bisa kita dapatkan dari segala lini informasi masa kini. Mengalami karya ini dengan pemahaman itu, bisa jadi penyulut kepedulian terhadap keberlanjutan (sustainability) lingkungan. Atau paling tidak, memantik kesadaran kita untuk merefleksikan kembali sikap, prinsip, dan gaya hidup. Namun lebih dari itu, kita perlu menyadari kembali dan mengakui bahwa kita–cucu moyang Homo sapiens–telah jauh tercerabut dari hakikat alamiahnya.
Pandangan antroposen yang memisahkan alam dengan manusia, menghasut kita untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan. Sayangnya bukan benar-benar kesejahteraan manusia, melainkan kesejahteraan fana yang bagi sistem nilai konstruktif yang dilekatkan kepada barang-barang produksi. Padahal di hadapan alam; perasaan, emosi, dan kesadaran–yang diunggulkan oleh mayoritas manusia masa kini–tidak pernah lain dari eksistensi material kita yang menubuh. Begitu pula segala unsur yang organik maupun anorganik, gelombang yang kita alami dan cerap, juga tidak pernah jadi lebih tinggi maupun lebih rendah menurut hakikat alamiah itu sendiri. Satu hal yang pasti dan bisa kita amati bersama adalah, bagi alam, perubahan adalah keniscayaan.
Mutasi Kinetika membingkai hakikat non-dualitas alamiah dalam tataran materialnya. Serta konsep tentang perubahan dan evolusi genetis secara satirikal. Meskipun begitu, dalam tataran abstrak, karya ini mengajak kita melangkah lebih jauh untuk meneliti pikiran kita masing-masing. Tentu pikiran juga bukan hal lain dari alam. Namun seperti halnya pikiran antroposentris yang dipupuk kolonialisme untuk menipu manusia dengan nilai-nilai fiktif–waham kolektif, demikian pula karya ini bereksperimentasi menantang kecenderungan laten itu lewat dimensi estetika.
Sayap capung dari limbah plastik cor yang berserakan di lantai seolah mengurai gagasan dasar antroposen. Lalu bunyi decit rangka besi terkesan menantang pikiran antroposentrisme yang begitu laten dalam benak kita. Serta pendar cahaya dari lampu yang membentuk mata dari capung distopia bak sorotan kebenaran yang memisahkan kebenaran alamiah dan bayang-bayang tipu daya. Instalasi ini berhasil mencitrakan gagasan bahwa alam bukan hanya yang organik dan hidup belaka. Melainkan segala yang ada, selayaknya seluruh ruang pameran sampai udara sejuk dari AC pun bagian dari alam. Satu-satunya yang tidak alamiah adalah kecenderungan kita untuk membuat garis pemisah bagi yang tinggi dan yang rendah. Kebodohan ini pula yang menyangkal klaim manusia sebagai makhluk sempurna, karena terbukti bagi alam segalanya adil tergilas perubahan.
Profil Seniman : Aji Ardoyono
Mukhamad Aji Prasetyo merupakan seniman instalasi kinetik yang sedang menempuh studi magister seni rupa di Institut Teknologi Bandung. Lahir di Jombang, 27 November 1997 ini sebagai seorang seniman instalasi kinetik, dia tertarik untuk mengeksplorasi keterkaitan antara manusia dan lingkungannya melalui karya seni. Dia percaya bahwa sebagai manusia, kita harus bertanggung jawab terhadap planet yang kita tinggali, dan bahwa seni dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk memperjuangkan perubahan positif dalam hubungan kita dengan lingkungan. Aji mencoba untuk membahas isu-isu ekologi yang sangat penting, seperti kultur sosial, agrikultur, perubahan iklim, dan dystopia kepunahan spesies dalam karyanya. Dalam setiap karya seninya, Dia memakai metode visual deformasi, fiksi dan mitologi. Dia menggunakan teknologi dan mekanisme kinetik untuk menciptakan karya seni yang bergerak dan bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Dia menggunakan bahan-bahan daur ulang dan limbah untuk menciptakan objek seni yang mempromosikan praktik-praktik yang lebih berkelanjutan.