Pindahin!
Seniman : Ivonne Kani
300 cm x 300 cm
Multimedia, Print on Paper, Clay, dan Styrofoam
2023
Kurator: Ardhias Nauvaly
Pindahin!
Mari bersepakat bahwa Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah megaproyek yang ambisius dan hanya terpisah selaput tipis dengan bualan. Ada yang ambil posisi diametral; ada yang madep manteb Bapak Jokowi. Banyak segi yang sudah diliput tentangnya mulai dari warga adat yang terpinggir hingga kesia-siaan sebab kawasannya dihantui setan ibukota sebelumnya: banjir. Di tengah pemberitaan seputar IKN inilah, Ivonne melihat ada yang janggal.
Sebenarnya, dia tidak pernah mengkhususkan diri untuk memantau isu IKN. Namun, sekali waktu dia membaca berita IKN, lalu lanjut ke berita-berita selanjutnya. Semuanya tentang ajakan untuk menanam modal –ikut membangun– di IKN. Berbekal latar belakangnya di dunia periklanan, Ivonne langsung menangkap pesannya: Pemerintah sedang ngiklan.
Setelah momen eureka itu, Ivonne mulai menggali lebih dalam isu IKN. Bertemulah dia dengan PP No. 12 Tahun 2003 yang, baginya, tidak lebih macam brosur promosi yang sangat tebal. Isinya adalah senarai hot deals bagi perusahaan asing, badan usaha dalam negeri, dan seluruh pekerja. Dokumen inilah yang meyakinkan Ivonne untuk nimbrung isu IKN dengan instalasi berjudul “Pindahin!”.
Pada kesempatan pertamanya dalam menciptakan instalasi, Ivonne mengambil pendekatan satire—sindiran atas realitas. Kenyataan pemerintah yang “ngiklan abis” ditampilkannya dalam wujud booth promosi properti. Rupa alegoris ini memang dekat dengan Ivonne mengingat sebelumnya dia cukup lama tinggal di Gading Serpong, “kota mandiri” yang diciptakan oleh pengembang swasta dan tentu tidak asing dengan promosi hunian.
Instalasinya tersusun dari iklan yang mewujud. Ada yang berbentuk papan informasi berisi segala tawaran menggiurkan untuk bahu-membahu menggarong kue IKN. Selain itu, “Pindahin!” juga menaruh brosur, eksponen iklan yang sentral, untuk melantangkan godaan investasi. Dengan menggunakan prinsip iklan, repetisi, “Pindahin!” juga mengoptimalisasi tuturan narasi komodifikasi IKN ini lewat medium audiovisual.
Ivonne menggantung televisi di atas booth yang memutar tayangan pramuniaga yang sedang menawarkan IKN—persis seperti Sales Promotion Girl sedang menjajakan produknya. Tayangan itu ditingkahi dengan jingle –sebuah mantra dagang– yang diputar terus-menerus. Hanya saja, jingle tidak diaransemen secara grande. Sebaliknya, nada jingle diramu sedemikian sehingga lebih mirip dengan iklan camilan bocah. Namun, liriknya tetap sok hebat seperti cita-cita IKN.
Jingle yang “bermain” ini senada dengan satire instalasi yang meledek betapa bercandanya pembangunan IKN. Perut siapa yang tidak terkocok saat mendengar rencana membikin mobil terbang di sana. Belum lagi pembangunan dengan sistem Roro Jonggrang (baca: ngebut) yang dipatok bukan berdasarkan pertimbangan teknis yang terukur melainkan politik omong kosong: 2024 (Pemilu) dilaksanakan upacara kemerdekaan pertama di istana berbentuk unggas sedangkan 2045 (Indonesia Emas) dipatok jadi puncak pembangunannya. Semuanya terlihat kelewat main-main untuk sebuah cita-cita yang serius.
Ledekan Ivonne juga hadir dalam bentuk maket kawasan IKN yang menggunakan material mainan balok-susun di atas lembar styrofoam. Bila maket adalah wujud final yang dijajakan di booth pengembang, “Pindahin!” menghadirkan maket yang belum selesai. Pada mulanya adalah lansekap awal; styrofoam hijau bukanlah lahan yang sepenuhnya kosong. Ada kehidupan di sana. Lalu, maket diaktivasi –dimainkan– dengan mengutak-atik balok-susun untuk menata IKN, menyingkirkan warga tempatan.
Pada titik ini, “Pindahin!” menjadi kian berlapis. Pertama, dia bicara komodifikasi tanah —barang dagang paling inflasif di dunia. Kedua, ketidakseriusan dalam membangun, diledeknya habis-habisan. Terakhir, meski tidak dominan, Ivonne coba menyelipkan narasi pascakolonial ketika bangsa terjajah meniru (mimikri) tingkah penjajah: menganggap kawasan yang-lemah sebagai terra incognita—tanah kosong, tidak ada manusia yang patut dihitung dalam jalur pembangunan.
IKN memang masih ide yang coba diwujudkan dengan keras kepala- sebuah ambisi. Namun, pada akhirnya, selaput tipis yang memisah ambisi dengan bualan itu luruh dan IKN, seperti yang dijajakan lewat “Pindahin!”, hanyalah mimpi para pejabat yang sibuk mengasong, bercanda, dan menggusur warganya. Ivonne memang membawanya dengan ungkapan yang ceria—senyum yang meledek. Namun, kesenduannya menjalar selevel dengan petikan puisi penyair Samarinda ini:
Di ibu kota Nusantara
Penyair telah kehilangan ceruk rembulan
Untuk dipasang sebagai metafora paling romantik
dalam puisi-puisi cinta
Kami lebih banyak menunduk pada tanah,
timbang mendongak pada langit tanpa arah.
Sebagai gantinya, kami pakai ceruk dari sisa
galian batu bara
Itu puisi tentang kehilangan. Ini adalah instalasi tentang bualan yang lekas jadi pudar.
Profil Seniman : Ivonne Kani
Ivonne Kani, seniman lulusan Desain Komunikasi Visual dari Universitas Multimedia Nusantara yang dalam karyanya menggunakan media audio visual sebagai cara mendistribusikan dokumentasi dan merekonstruksi wacana. Ivonne tertarik untuk menelisik cara media massa & media sosial mendominasi masyarakat melalui hegemoni budaya, penyebaran pengetahuan dan ideologi. Karyanya mempertanyakan pembangunan ekonomi yang mengakibatkan komersialisasi, gentrifikasi dan komodifikasi budaya yang menggerus masyarakat dari nilai luhurnya. Pertanyaan itu Ivonne ditafsirkan dalam bentuk karya eskapisme yang memberikan alternatif realitas dari kejahatan struktural yang dilanggengkan pemilik kuasa. Karya dokumenter pendek Ivonne pernah ditayangkan di Festival Film Dokumenter (2016, 2021) dan Arkipel (2016).