Talawang Diri
Seniman : Zakaria
140 cm x 100 cm
Mix Media
2023
Kurator: Juwita Wardah
TALAWANG DIRI: CERITA DARI SPIRIT MASA KINI
“Apakah kekayaan dan warisan adat akan tetap memiliki relevansi di masa kini, mengingat zaman terus mengalami perubahan dan perkembangan?”
Kesadaran untuk mempertahankan diri menjadi sebuah konsep yang terus mengalami penyesuaian dengan medan tempurnya. Mengenal tameng, salah satu warisan bendawi Suku Dayak, menjadi atribut yang memfasilitasi upaya pertahanan diri tersebut. Di masa lalu, penggunaan tameng dikaitkan dengan alat untuk melindungi diri, bertahan, hingga melawan musuh di pertempuran. Menilik korelasi dan relevansinya dengan masa kini, tameng dan fungsinya menjadi sebuah metafora untuk merespon “peperangan” yang dihadapi oleh Suku Dayak.
Berangkat dari kesadaran untuk mempertahankan diri itu, Zakaria Pangaribuan paham betul bahwa “peperangan” yang dihadapi olehnya, sebagai masyarakat Suku Dayak, tidak lagi perihal peperangan konvensional. Di hadapannya, masyarakat Suku Dayak berusaha melawan negosiasi dan egoisme pribadi atas perebutan tanah baik antar sesama warga ataupun dengan pihak korporasi. Kabar sengketa lahan ini juga berhembus hingga wilayah di luar Kalimantan. Kabar-kabar mengenai pembakaran hutan secara besar-besaran yang kian meresahkan menjadi sebuah alasan yang kuat bagi warga sekitar untuk mempertahankan diri dan kekayaan alam mereka. Hal ini mengingat bahwa pada dasarnya, hutan adalah sebuah ruang penting bagi keberlangsungan hidup Suku Dayak, yang bahkan diatur dalam adat istiadat mereka.
Meski dalam bentuk tantangan yang berbeda dengan pendahulunya, isu lingkungan tidak serta merta menjadi hal yang remeh. Pergeseran zaman dengan urgensi kebutuhan yang berbeda tetap membutuhkan kesadaran akan batasan. Lantas, tameng tidak hanya menghadirkan konsep pertahanan diri yang metaforis, tetapi lebih dari itu, Zakaria Pangaribuan meyakini bahwa tameng merupakan spirit yang lahir untuk merespon tantangan zaman dengan berpijak pada batasan yang telah diatur. Kesadaran yang dilandasi dengan hukum adat ini seringkali membawa masyarakat lokal pada akar hukum mereka. Dari kesadaran itu, Zakaria Pangaribuan berpijak pada lokalitas dan warisan adatnya dalam melihat dan merespon tantangan dari isu ini dengan kembali pada identitasnya.
Daya Magis Tameng dalam Pergeseran Zaman
Merangkum keresahan dan refleksinya akan isu yang beredar di lingkungannya, Zakaria Pangaribuan menciptakan sebuah karya dengan tajuk Talawang Diri. Tumbuh di Kalimantan sebagai masyarakat asli Suku Dayak membuatnya melahirkan karya ini dengan beragam bentuk argumen di dalamnya. Talawang Diri menduplikasi dari kata “Talawang”, yang berartikan tameng dari Kalimantan Barat khususnya Suku Dayak, dan “Diri” sebagai acuan refleksi personal. Karya merupakan merupakan sebuah produksi yang menampilkan seperangkat tameng dengan detail penting yang menghadirkan narasi-narasi berdasarkan respon Zakaria Pangaribuan atas “peperangan” yang tengah dihadapinya. Tameng sejatinya diiringi dengan aksen-aksen simbolis yang menjadi pesan bagi sang pembuatnya. Pun pada instalasi karya ini, Zakaria Pangaribuan berusaha menyampaikan pesan bahkan peringatan untuk pertahanan diri.
Karya ini juga menjadi upaya Zakaria Pangaribuan untuk tetap menjadi relevan dengan tameng yang otentik agar karya ini dapat menjadi implementasi materi warisan bendawi Suku Dayak. Otentisitas tameng selalu diidentikkan dengan daya magis yang dikorelasikan dengan penggunaan para nenek moyang. Corak pada tameng dipercaya sebagai representasi dari kondisi alam di sekitar mereka yang dituangkan oleh sang seniman ke dalamnya. Menilik pada karya Talawang Diri ini, Zakaria Pangaribuan Pangaribuan bertumpu pada motif yang terinspirasi dari mitologi/kepercayaan suku Dayak, yakni menggunakan simbol 1) Bunga terong yang berartikan sebuah perjalanan, 2) Pucuk rebung yang memiliki makna belajar dari pengalaman hidup, dan 3) Kepala enggang yang bermakna sebagai simbol kebijaksanaan. Zakaria Pangaribuan Pangaribuan mengubah simbol dari bentuk budaya dan tradisi Dayak karena hal tersebut adalah bagian dari identitasnya dan ia tumbuh di sekitar elemen-elemen ini. Akan tetapi, transformasi ini dilakukan tanpa menghilangkan makna aslinya. Ia merasa hidup dan bebas saat membuat karya seni yang kontemporer, dalam konteks yang universal. Daya magis dari tameng yang merupakan warisan budaya Suku Dayak ini akan hadir sepenuhnya dengan meleburkan isu-isu yang lebih relevan pada masa kini.
–
Referensi:
Patwanto. 2012. Makna Simbolis Perisai Dayak Bukit di Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Kalimantan Barat. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Santosa, Hery dan Tapip Bahtiar. 2016. Mandau Senjata Tradisional Sebagai Pelestari Rupa Lingkungan Dayak. Ritme: Volume 2 No. 2
Profil Seniman : Zakaria
Zakaria Pangaribuan merupakan seniman asal Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia. Karya-karyanya sebagian besar diciptakan dengan mengembangkan dan mengubah bentuk dari simbol budaya Dayak. Dalam Pameran Asana Bina Seni 2023 kali ini, Zakaria mencoba mengimplementasikan karyanya untuk mengkritisi dan merespon kondisi, isu, dan segala kegelisahannya mengenai warisan budaya wujud dan tak wujud, seperti mitologi dan simbol dalam tradisi lisan dan motif dayak. Dalam perjalanan berkeseniannya, Zakaria berhasil menjuarai lomba lukis pada Dayak Festival 2017 di Indonesia, serta menjadi runner-up lomba monolog Kalimantan Barat pada tahun 2018. Pernah terlibat pada pameran kontemporer di serawak Malaysia, dan salah satu prestasi yang paling membanggakan hingga saat ini adalah suksesnya pameran tunggal virtual “TUGAL TANAH IKAL” (2020), dan hingga saat ini dia tergabung dalam kolektif Emehdeyeh sejak 2020.