“Moto-moto terus ket wingi tapi ra dicetak podo wae!” (Ngefoto terus sejak kemarin tetapi jika tidak dicetak, buat apa!)
Seloroh tersebut dilontarkan oleh Mak Jilah, salah seorang warga RT 03 Dusun Sawit ketika disambangi peserta Asana Bina Seni 2024 (seterusnya ABS) untuk ditanyai perihal resep masakan. Beliau merupakan salah seorang juru masak kenamaan di daerahnya, yang acap kali dipercayai untuk memimpin proses rewang pelbagai acara komunal dari upacara ritus daur hidup seperti mantenan (pernikahan) dan nyewu (peringatan 1.000 hari kematian) hingga upacara keagamaan dan/atau kepercayaan seperti suronan (peringatan malam satu sura) dan pengajian. Sewaktu ia sedang berinteraksi perihal resep masakan bersama Ripase – salah satu peserta ABS – di sisi lain peristiwa tersebut dipotret secara berulangkali oleh Mia, juga peserta ABS, dari beragam sisi dan sudut.
Suasana gang di mana kami berada sontak menjadi cair ketika Mak Jilah mengeluh dengan nada sarkastik kepada Mia. Sebabnya, Mia telah beberapa kali terlibat dan mengikuti kegiatan masyarakat Sawit, dan pada momen-momen tersebut ia senantiasa merekam situasi lewat kamera dan sound recorder yang ia bawa.
Sesekali pula Mia juga memberikan kamera untuk dipegang dan digunakan oleh penduduk setempat gunakan untuk mendokumentasikan kegiatan pula – salah satu cara dan pendekatannya dalam proses pengkaryaan yang sedang ia olah. Dari serangkaian kegiatan yang telah didokumentasikan tadi, kiranya Mak Jilah beranggapan bahwa foto-foto tadi akan sia-sia jika tidak bisa dilihat, dipegang, dan dirasakan secara fisik. Oleh karenanya, ia meminta kepada Mia agar dapat mencetak potret dirinya dan orang di sekitarnya yang sejauh ini telah Mia rekam.
Interaksi demikian menjadi hal yang tak terelakkan ketika seniman berusaha untuk menyatu dengan masyarakat tempatan, yang kelak akan dijadikan basis pengkaryaan maupun kolaborator dalam karya. Terbukanya ruang-ruang interaksi yang egaliter dan relatif tidak berjarak, yang beberapa dapat ditandai dari hilangnya perasaan sungkan dan kemunculan kelakar yang lucu bagi dua pihak kiranya dapat menjadi indikator awal bagaimana seseorang, dalam hal ini seniman, dapat diterima oleh masyarakat yang ingin ia kenali lebih jauh.
Poin-poin tadi pun dapat pula tercapai meskipun ada batasan dan kendala yang dihadapi. Misalnya, dalam kasus Mia dan Ripase, keduanya tidak berasal dari kebudayaan Jawa sehingga memiliki pemahaman dan perbendaharaan bahasa Jawa yang terbatas.
Walau demikian, sebagaimana Clifford Geertz sintesiskan dalam bukunya Interpretation of Culture (1973) bahwa “Man is an animal suspended in webs of significance he himself has spun…”. Artinya, mnusia adalah binatang yang terperangkap dalam jaring-jaring makna yang ia tenun sendiri. Justru menjadi tugas dan peran para peserta ABS baik seniman, kurator, maupun penulis untuk dapat mengurai kelindan makna tadi dan secara perlahan memahami masyarakat Sawit secara lebih holistik.
Dengan secara ajeg dan ulet membaca dan menginterpretasikan sulur-sulur fenomena dan simbol sosial di Sawit, barulah pemahaman atas dinamika masyarakat dapat terjahit. Proses demikian pun dalam jangka panjang juga akan menjadi aktivitas yang sifatnya dua arah, dengan masyarakat secara perlahan membuka dirinya, kita pun juga akan secara inkremental akan menjadi lebih terbuka, ia bersifat timbal balik.
Sebagai tulisan catatan proses pertama, masih ada banyak proses yang belum sempat saya jamah. Satu hal yang kiranya cukup menarik untuk ditelisik ialah perihal ABS yang menjadi ekstensi Biennale Jogja 17. Gelaran BJ 17 kemarin sendiri dibangun di atas semangat dekolonisasi dalam praktik produksi pengetahuan lewat perspektif masyarakat lokal. Saya berandai-andai, akan sedalam apa helatan kali ini untuk membersamai masyarakat sambil menyelami isu yang seniman telaah.
Sebagai refleksi akhir tulisan ini, muncul pertanyaan: Sejauh mana seniman memperkenalkan diri dan menjelaskan intensi atas aktivitas yang mereka langsungkan di Sawit selama beberapa waktu terakhir dan juga ke depannya?
Secara lebih lanjut, apakah seiring berjalannya waktu para seniman juga akan membahasakan dan mengelaborasikan wacana artistik dan estetik yang mereka usung dalam proses pengkaryaan mereka, jika iya, bagaimana? Dan jika tidak, mengapa? Ragam pertanyaan tadi agaknya baru bisa sedikit demi sedikit teruraikan beriringan dengan berlangsungnya kegiatan ABS yang berkolaborasi dengan masyarakat Sawit akan berjalan dan berjalan.
Editor: Amos Ursia