Profil Penulis
Panca Lintang Dyah Paramitha, nama kecilnya Lintang, lahir tahun 2002 bulan Agustus tanggal 30 di Jakarta Utara—Tanjung Priok. Lintang sedari lahir sampai SMA tinggal di gang kecil sana, punya ketertarikan membaca teks susastra, sains, dan kejawen; buku yang ia temukan di perpustakaan sekolah dan meja sembahyang rumahnya. Lahir di urban pinggiran yang penuh dengan peristiwa kekerasan dan kriminal, membuatnya sadar untuk pergi dari kota itu agar bisa berjarak membaca dirinya sendiri pun peristiwa di rumahnya. Bertekad mengejar kuliah di luar Jakarta, dan berakhir di UGM Yogyakarta.
Sejak kecil itu juga, seni-senian adalah wadah eskapisme baginya agar bisa mencicipi keindahan hidup seperti teman lainnya. Pada pinggir plafon rumah dengan pemandangan lapangan pipa besi jumbo, Lintang membaca buku hasil pinjaman dan menuliskan puisi-puisi bernada marah dan sedih di buku kecilnya. Apapun ia kerjakan untuk menstabilkan energi di rumahnya; lomba, menjuarai kelas, mengejar beasiswa—ia jadi mafhum bahwa di sebalik yang material, ada kedalaman makna yang bisa ia raih. Lukisan yang ia jual, puisi yang ia lombakan, kepintaran yang ia tukar dengan beasiswa; adalah penukaran materi yang setara dengan konsumsi kekerasan yang ia lihat saban harinya.
Kuliah adalah surga kecil bagi Lintang sebab memiliki kesempatan setara untuk melihat dunia yang lebih luas, mengguyur dahaganya yang ingin mengenyam banyak perspektif. Transisi kehidupan itu yang kemudian ia ejawantahkan dalam berbagai praktik kesenian; teater kampus, pembacaan filsafat, penyutradaraan, dan kepenulisan. Beberapa kali menjadi redaktur dan editor tulisan filsafat di LSF Cogito sekaligus memantik diskusi kefilsafatan. Beberapa kali mengikuti program kesenian di luar kampus; IDRF, Kalam Puan, dan Rempah Gunung. Praktik kebudayaan sebagai peneliti juga Lintang geluti dalam program Asisten Data Objek Pemajuan Kebudayaan dari Direktorat Kebudayaan Kemendikbud, dan saat ini sedang bekerja di Direktorat Penelitian UGM.
Praktik kesenian Lintang tidak begitu terarsipkan dengan baik. Namun, dalam prosesnya, Lintang sering membagikan hasil pembacaan di sebalik teks pada akun instagram yang bernama @garisenjana. Sampai saat ini, Lintang tertarik pada gagasan seni yang tidak dibatasi nama, bentuk, audiens, permintaan, karena ia mengamini gagasan yang lahir pada seni yang ia ciptakan adalah bentuk representasi diri yang sedang berproses di dalam hidup, yang mengalami berbagai konflik dari benang merah kehidupan lain, yang mengalaminya sebagai manusia yang berhubungan dengan entitas lain.
LINK TULISAN:
Naskah Drama yang dipentaskan IDRF “Puncak Phallus” – 2023
Last Draft_Panca Lintang Dyah Paramitha _Puncak Phallus_Draft 3
Unpublish Jurnal – 2023
Pelestarian Rumah Adat Im Masela – Panca Lintang Dyah Paramitha
Unpublish – Riset Tugas Akhir Perbandingan Agama – 2021