Tulisan dalam rubrik ini merupakan hasil dari program lokakarya penulis yang dilaksanakan pada tanggal 3-4 April 2024 di Joglo Mandapa, Bantul, Yogyakarta, partisipan berasal dari peserta Asana Bina Seni Biennale Jogja serta perwakilan dari Festival Film Dokumenter (FFD), Indonesian Dance Festival (IDF), ARTJOG, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Lokakarya ini menjadi wadah untuk memikirkan irisan internasionalisme seni dan wacana dekolonisasi dalam konstelasi seni global.
Sesi dibuka dengan kuliah dari Wildan Sena Utama, peneliti sejarah yang fokus pada pengaruh Konferensi Asia Afrika dalam berbagai aspek kehidupan Indonesia pasca kemerdekaan, termasuk lingkup seni dan budaya. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian 4 kelompok pembahasan : seni rupa, film, sastra dan seni pertunjukan.
Hasil Lokakarya Penulis Kolaborasi: Sastra
Prakiraan Cuaca di Langit Kesusastraan Indonesia Hari Ini
oleh Ragil Cahya Maulana
Komunitas sastra kita hari ini serupa gumpalan-gumpalan awan yang berserak. Gumpalan awan itu punya angin wacananya sendiri-sendiri, punya arah geraknya masing-masing. Komunitas-komunitas sastra di Jakarta bisa punya kecenderungan yang sama sekali lain dari komunitas-komunitas serupa di Yogya, yang di Yogya pun punya topik pembicaraan jauh berbeda dibanding kawan-kawannya di Makassar atau Maumere. Baik di Jakarta, Yogya, maupun Makassar dan Maumere bisa ada festival sastra, tapi corak dan nyanyian angin wacana yang disuarakannya juga bisa jauh berbeda. Bagaimana di Polewali Mandar, Lubuklinggau, atau Lumajang? Adakah gumpalan awan sastra di sana? Nyanyian angin wacana seperti apa yang mengalun di Medan, Palembang, dan Sumenep?
Gumpalan komunitas itu terdiri dari para penulis, penerbit (termasuk para pekerja kognitariat di dalamnya), juru niaga, majelis pembaca, serta kritikus. Bahkan dalam satu wilayah, mereka pun belum tentu sepenuhnya nyambung dan nyetel. Ada para penulis yang sangat getol menyerukan isu-isu lokal, kelompok penulis lain bergairah bicara isu global, sedangkan publik pembacanya ada yang ‘hanya’ butuh hiburan, para juru niaganya sibuk berkelahi dengan siasat gratis ongkir. Ada penerbit yang geraknya sudah transnasional, banyak juga penerbit yang masih terseok-seok menambal-sulam utang biaya cetak. Di sudut lain, para kritikus fafifiu menguliti kegenitan bentuk karya-karya semenjana. Komunitas sastra kita hari ini dipenuhi kesunyian masing-masing.
Di langit, awan adalah penanda paling kasatmata bagi cuaca. Prakiraan paling mudah terhadap kemungkinan hujan adalah dengan melihat corak dan warna gumpalan awan. Prakiraan cuaca di langit kesusastraan Indonesia hari ini, agaknya, sulit ditebak. Dalam satu rentang waktu, kita bisa melihat gumpalan awan mendung menurunkan hujan deras kanonisasi. Festival-festival dan program kesusastraan tumbuh subur sebagai pengatrolan nama dan otoritas. Tidak lama berselang, hadir gumpalan awan secerah kapas bergerak lamat-lamat ditiup angin cuan yang menyegarkan. Semilir angin proyek berdesir samar, kicau burung pencari nafkah terdengar merdu bersahut-sahutan, surgawi sekali. Persis setelahnya, muncul gumpalan awan kelam yang tak menurunkan hujan, tapi menimbulkan badai petir diskursus yang sedemikian dahsyat. Angin ribut polemik mengobrak-abrik tanpa ampun. Jika linimasa peristiwa kesusastraan di Indonesia hari ini adalah cuaca betulan, BMKG tampaknya akan angkat tangan dalam kerja-kerja pemrakiraan. Tak ada satu setan alas pun yang tau pola perubahan cuaca di langit kesusastraan Indonesia.
Namun, cuaca kesusastraan yang tak menentu ini bukanlah peristiwa alamiah. Ia tidak terjadi begitu saja dan memang begitu adanya. Ia adalah hasil interaksi antara gumpalan awan yang berserak tadi dengan segala gerak kehidupan di muka bumi. Gerak kehidupan publik sehari-hari mengalami sublimasi, menyublim dan beralih-rupa menjadi Yang Sastrawi, Yang Puitik. Dalam atmosfer Yang Sastrawi itulah gumpalan awan komunitas sastra terbentuk. Mereka melayang-layang di langit luas wacana.
Masalahnya, sebagai teritori kebudayaan, Indonesia itu luas sekali. Selain itu, daerah-daerah yang berdekatan pun bisa punya perbedaan begitu mencolok. Corak gerak keseharian di Madura, misalnya, bisa jauh berbeda dari gerak keseharian di Bali. Inilah yang membuat awan komunitas sastra tadi niscaya beragam, sebab realitas keseharian yang menjadi sumber sublimasinya juga berbeda-beda.
Cuaca kesusastraan kita hari ini juga adalah hasil interaksi sastra Indonesia dengan situasi-situasi di tempat lain yang jauh. Apa yang disebut “sastra Indonesia” hari ini pun sukar dipisahkan dari dunia kesusastraan di tempat lain. Sivitas kesusastraan kita hari ini, baik para penulis, penerbit, dan pembaca, setidaknya sudah punya pintu Doraemon digital untuk mengakses kesusastraan Amerika Latin, Eropa Timur, Afrika, dll. Wilayah-wilayah kesusastraan yang dulu masih terra incognita, kini sudah jadi taman bermain yang bisa kita kunjungi sewaktu-waktu. Arus penerjemahan pun kian deras, dan tertib. Kerja-kerja agensi sastra punya peran vital di sini.
Peristiwa di tempat lain pun turut membentuk sublimasi artistik yang menghasilkan corak cuaca di langit kesusastraan kita hari ini. Baru-baru ini, banyak penerbit Indonesia terhubung dengan kolektif solidaritas global Publishers for Palestine. Di situs web mereka, ratusan penerbit dari seluruh dunia menandatangani surat pernyataan solidaritas untuk Palestina. Mereka tidak hanya mengecam Israel secara spesifik, namun juga mengutuk kolonialisme dan imperialisme secara umum. Wacana yang mereka usung adalah perlawanan melalui kerja-kerja penerbitan. Ini membuka akses kita pada wilayah kesusastraan lain, terutama wilayah yang punya semangat dekolonisasi pengetahuan. Makin terbuka akses kita ke wilayah kesusastraan lain itu, makin kuat kontribusi dari sana terhadap sublimasi artistik yang terjadi di sini. Di beberapa penerbit dan penulis, wacana dekolonisasi pengetahuan dalam sastra sendiri mulai diperbincangkan. Saya penasaran, dekolonisasi pengetahuan seperti apa yang akan lahir dari hasil pembacaan terhadap realitas pascakolonial yang juga sangat beragam di Indonesia?
Selain itu, sejarah juga turut andil membentuk cuaca kesusastraan kita hari ini. 69 tahun lalu, Konferensi Asia-Afrika (KAA) dihelat di Bandung. Konferensi interkontinental itu menghasilkan Bandung Spirit, yang di dalamnya berkobar api kemerdekaan dan solidaritas transnasional. Salah satu perwujudan Bandung Spirit pasca-KAA adalah Asosiasi Pengarang Asia-Afrika, yang sempat menyelenggarakan konferensi di Tashkent (1958) dan Kairo (1963). Selain mengirim delegasi untuk bertukar-tangkap gagasan di dua konferensi itu, Indonesia juga turut mengirim perwakilan untuk berkantor di Biro Pengarang Asia-Afrika di Kolombo, Sri Lanka. Biro ini adalah sayap kebudayaan revolusioner yang tidak hanya mau mempromosikan karya sastra dari Asia dan Afrika, melainkan juga hendak mengarusutamakan corak kesusastraan Dunia Ketiga untuk menggugat dan mendobrak status quo kesusastraan Barat. Di tahun-tahun itu, para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) aktif menjadi agen bagi kerja-kerja solidaritas internasional, tentu saja via jalur kesusastraan. Penerjemahan karya sastra ke dalam dan ke luar negeri serta redistribusi penerbitannya digalakkan sebagai ikhtiar membangun imajinasi Dunia Ketiga yang merdeka, yang antikolonialis dan antiimperialis. Kira-kira begitulah cuaca di langit kesusastraan Indonesia waktu itu.
Cuacanya lalu berubah drastis pasca G30S pada 1965. Setelah Presiden Sukarno ‘diamankan’, kekuasaannya dilucuti, dan warisan gagasannya diharamkan, pergerakan Bandung Spirit pasca KAA perlahan bubar jalan. Para sastrawan Lekra juga ditendang jatuh dari panggung sejarah. Sebagai anggota sayap kebudayaan dari partai terlarang, mereka ditangkap, dieksilkan, ditapolkan, bahkan dieksekusi tanpa pengadilan. Dalam cuaca yang muram itu, satu gumpalan awan baru merebak di langit kesusastraan Indonesia. Kalangan Manifes Kebudayaan, yang anti Lekra, mengisi lembar baru catatan sejarah. Meski tak sevulgar dan se-lugas Lekra, Manifes Kebudayaan punya corak internasionalisasinya sendiri. Jika Lekra punya darah revolusi dan realisme sosial yang kental, Manifes Kebudayaan bernafaskan humanisme universal. Sebagaimana para sastrawan Lekra, tokoh-tokoh di balik Manifes Kebudayaan juga berjejaring dengan para sastrawan dan penerbitan internasional dalam rangka membangun imajinasi mereka sendiri atas humanisme universal. Kerja-kerja penerjemahan juga terjadi di sana, meski lebih intens ke dalam daripada ke luar. Berbeda dari agensi Lekra dalam KAA yang disokong penuh negara, gerak agensi Manifes Kebudayaan lebih bersifat partikelir. Hubungan kalangan ini dan negara bisa mesra di satu waktu, lalu tidak akur di waktu lain. Itu membuat modalitas kerja agensi mereka bisa terbatas, kecuali ada aliran segar dari donor-donor internasional.
Situasi pasca 1965 itulah yang turut membentuk cuaca di langit kesusastraan Indonesia hari ini. Komunitas-komunitas sastra tumbuh merayakan ‘kebebasan humanismenya’ sendiri-sendiri. Pertemuan-pertemuan para penulis dan penerbit dihelat sesekali waktu, namun dalam garis batas kelompok yang tegas; selalu ada kami dan mereka di garis batas itu. Semangat internasionalisasi masih terus digalakkan secara partikelir, sebagian besarnya masih dalam koridor pasar dan donor. Namun, kini mulai muncul penerbit-penerbit independen yang membangun poros wacana tertentu secara global; Marjin Kiri bisa disebut sebagai salah satu pentolan untuk ini. Mereka tidak hanya melakukan kerja-kerja bisnis penerjemahan, namun juga aktif terlibat dalam berbagai konferensi penerbit negara-negara Global Selatan untuk memikirkan bersama cita-cita keadilan ekonomi dan politik.
Kerja-kerja semacam itu, barangkali, adalah secuil ikhtiar untuk menciptakan cuaca baru di langit masa depan kesusastraan Indonesia. Cuaca baru itu mungkin saja masih berisi awan-awan lama yang berserak di cakrawala luas, tapi mungkin juga ada gumpalan-gumpalan kecil awan baru yang terhubung oleh angin solidaritas nirbatas, awan-awan kecil yang mudah bergeser dan melebur. Entah bagaimana cuacanya, saya ingin melihat awan-awan kecil itu di langit kesusastraan kita.