ilustrasi digital cetak pada kain 100 x 150 cm, teks cetak kertas
2024
Kurator: Ragil Cahya Maulana
Lokasi Karya: Gedung Serbaguna KWT Sawit Asri RT 05
Pada 1964, Presiden Sukarno punya ide gokil soal kuliner. Ia memprakarsai pengarsipan resep masakan se-Nusantara dalam sebuah buku. Proyek gastronomis itu rampung pada 1967 dengan judul Mustikarasa, diterbitkan Departemen Pertanian. Selain sebagai siasat politik pertahanan pangan, Mustikarasa juga ditulis sebagai ‘surat warisan’ kekayaan budaya bangsa. Sukarno ingin mewariskan khazanah pengetahuan soal pangan kepada generasi penerus. Pandangan Sukarno soal menu sebagai warisan ini menarik. Boleh juga, kalau kata penyanyi Salma Salsabil.
Di Padukuhan Sawit, menu juga diperlakukan sebagai warisan takbenda. Ia ditransfer sebagai data dari generasi perintis ke generasi pewaris. Hanya saja, tak seperti proyek kolosal Sukarno, menu-menu di Sawit tak dicatat, melainkan diinstal langsung ke dalam tubuh lewat aktivitas sehari-hari. Kerja rewangan adalah mekanisme kolektif penginstalan menu-menu itu dalam gerak tubuh warga. Data-data soal bahan, takaran, dan tata penyajian diserap lewat lelaku, tentu sambil diselingi canda-tawa dan sedikit rasan-rasan soal tetangga. Ingatan tentang menu-menu itu tak hanya mengendap di kepala, tetapi juga meresap ke otot, ke sendi-sendi yang bergerak mengaduk sutil. Begitulah cara warga Sawit mengawetkan khazanah pengetahuan mereka soal pangan. Ripase menjumpai proses semacam itu ketika meriset skena kuliner di Sawit. Ia tak hanya melakukan wawancara, tapi juga terlibat langsung dalam kerja rewangan.
Dalam proses riset karyanya, Ripase juga melihat menu-menu itulah yang menggerakkan kehidupan dan kebudayaan di Sawit. Bahan pangan lokal yang diolah jadi mangut lele dan sayur lodeh menyuplai gizi pada gerak tubuh di rumah-rumah. Di luar rumah, peristiwa-peristiwa sosial juga niscaya melibatkan kehadiran menu masakan. Ada perayaan Sura yang melibatkan bubur dan tasyakuran panen yang menghadirkan sego wiwitan. Keduanya disantap tidak hanya sebagai pengganjal lambung, tetapi juga sebagai perlambang. Bagi warga Sawit, bubur Sura dan sego wiwitan adalah harapan sekaligus moral conduct yang menubuh. Mereka menyantapnya dengan doa-doa pada Sang Mahaesa.
Ripase merespons situasi-situasi tadi dengan membuat catatan berbentuk ilustrasi. Catatan teks Ripase soal menu-menu dan peristiwa penubuhan yang dijumpainya diolah jadi ilustrasi. Karya ini mereplikasi metode pewarisan khazanah pengetahuan ala warga Sawit. Sebagai bagian dari warga seni rupa, Ripa menggunakan kerja grafis untuk ikut mewariskan data pangan di Sawit. Asumsinya: menggambar dan memasak itu sederajat. Keduanya mengandung kerja-kerja pengolahan materi, perspektif, tata komposisi, tata warna, dan tentu saja mengandung estetika. Gambar dan masakan adalah karya seni rupa dengan lain nama.
Pencatatan dan pewarisan secara artistik ini juga jadi penting karena ada konteks lain yang lebih luas: hegemoni selera urban yang tak terelakkan. Di Sawit, produk makanan ultraproses dan cepat saji merangsek tanpa ampun. Pelan tapi pasti, produk semacam itu juga akan menubuh dalam selera warga Sawit. Mau tak mau, mangut lele dan sayur lodeh berhadap muka dengan nuget, sosis, dan burger yang tak punya ikatan batin dengan kehidupan lokal. Toh produk-produki industrial yang hanya mementingkan cuan itu juga dibekingi oleh riasan visual dalam pemasarannya. Di konteks inilah kerja artistik Ripase menjadi penting. Pewarisan menu-menu warga Sawit perlu di-backup secara artistik biar tidak mudah digilas rezim pangan urban.
Untuk melengkapi intensi pengkaryaannya, Ripase turut merancang program rewangan. Ia mengajak publik mengalami langsung proses penubuhan menu yang terjadi di Sawit. Program ini sekaligus menjadi tawaran artistik untuk melihat rewangan sebagai peristiwa seni. Dalam konteks kesenimanan Ripase, rewangan tak ubahnya seperti open studio seni rupa. Publik berkarya mengkreasi rupa, menggambar degup hidup mereka pada lembaran peristiwa. Dalam program ini, Ripa juga mempertemukan publik dengan Bu Yuli, salah satu sosok penting dalam kerja rewangan di Sawit. Bu Yuli yang sehari-hari bekerja sebagai juru masak partikelir akan mewariskan menu mangut lelenya kepada khalayak. Saat kita melihat rewangan sebagai peristiwa seni, Bu Yuli barangkali sah juga disebut seniman, bahkan kurator. Selain menangani produksi karya menu, di kerja-kerja rewangan-nya Bu Yuli juga bertungkus-lumus mengurusi tatakelola presentasi produk, budgeting, hingga memikirkan kesesuaian produk dengan situasi audiens. Lain audiens lain pula tatakelolanya. Tidakkah ini kerja-kerja kesenian juga?
Ripase Nostanta Purba, akrab dipanggil Ripa atau Ripase. Lahir dan tumbuh di Berastagi, Tanah Karo pada 17 Agustus dengan arti nama Republik Indonesia emPAt SEmbilan. Lulusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Medan dan Pengkajian Seni Lukis Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Saat ini berdomisili di Krapyak, Panggungharjo, Yogyakarta.
Ripa saat ini aktif berkegiatan sebagai kurator, penulis dan konten kreator. Memulai karir penulisannya di tahun 2020 sebagai kontributor lepas platform travel, kuliner dan budaya Brisik.id. Karir profesionalnya dimulai saat menjadi peserta Asana Bina Seni 2021 sebagai periset dan merespon pameran arsip 10 tahun Biennale Jogja bertajuk Game of Archive di Taman Budaya Yogyakarta. Setelahnya, ia menjadi penulis dan kurator independen untuk berbagai pameran seni rupa, konten kreator Buku Seni Rupa, penulis Jogja Art Weeks 2022-2023, kontributor untuk mojok.id, sudutkantin.com, IDN Times dan medium.com.