Film 24 menit
2024
Kurator: Ragil Cahya Maulana
Lokasi Karya: Joglo RT 01
Bersama kawula muda Padukuhan Sawit, Risang merancang sinema berbasis arsip warga. Sebagai seniman film, ia melihat status WhatsApp sebagai arsip yang terus bergulir dari hari ke hari. Status WhatsApp adalah arsip kehidupan yang mengalir, dan tentu saja penuh kelokan tak tertebak. Di sana ada rekaman video yang dipermak sedemikian rupa sesuai selera artistik warga, ada gambar dan kata-kata yang telah dikurasi secara ketat sesuai gejolak hidup masing-masing. Setelah mendapat persetujuan beberapa warga, Risang menyedot semua arsip itu dan mengoplosnya menjadi sebuah naskah film. Meskipun fiktif, naskah ini sepenuhnya berasal dari pembacaan data yang terkumpul di arsip. Proses pembacaan dan perancangan cerita dikerjakan Risang bersama Mas Wawan, Dodo, dan Isma—inilah kawula muda Sawit yang tadi disebut.
Dalam filmnya, Risang dan kawan-kawan merancang cerita yang berkisar di kehidupan Bu Nestri, ibu-ibu KWT (Kelompok Wanita Tani), Praba, dan Nevan. Pusaran ceritanya melibatkan peran Bu Nestri sebagai anggota KWT, Praba sebagai kusir andong, dan Nevan sebagai bocil mancing mania. Peran-peran ini nyata adanya, terjadi dalam hidup mereka sehari-hari. Peran rekaan yang Risang buat adalah Bu Nestri sebagai ibu dari Praba dan Nevan (aslinya, rumah mereka bahkan beda RT). Syahdan, Bu Nestri yang kebelet plesir bersama ibu-ibu KWT memberi mandat pada kedua anaknya untuk menyiram tanaman di KWT. Bila mandat ini tak dilaksanakan, tanaman terancam mampus. Praba dan Nevan lantas mengalami tegangan, antara menjalankan mandat itu atau asyik-masyuk dengan dunianya sendiri. Cerita rekaan ini menyibak kompleksitas keseharian di Sawit secara jenaka. Ada narasi lelaku pangan sebagai kerja perawatan kebudayaan, ada pula narasi pengaliran peran gender dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di luar kerangka film, narasi-narasi itu sulit terlihat karena peristiwanya terlampau ‘biasa’. Film membuat mata kita lebih awas dalam melihat yang ‘biasa’ itu.
Karya Risang dan kawan-kawan ini adalah ikhtiar artistik untuk melihat hidup sehari-hari sebagai sinema. Selama ini, sinema selalu dibayangkan sebagai produk seni yang tampak di layar lebar. Seni peran dan penulisan cerita adalah urusan para seniman dan muskil dikerjakan oleh ‘orang-orang biasa’—mereka yang disebut sebagai ‘warga’. Risang melihat unggahan status WhatsApp (juga lelaku medsos serupa) sebagai kerja sinematik yang selama ini tak masuk hitungan. Saat membuat status WhatsApp, disadari atau tidak, kita sedang mempertontonkan sesuatu. Kerja perekaman menggunakan kamera ponsel punya asumsi dan intensi yang mirip seperti proses pengambilan gambar pada film. Kita melihat gerak, dialog, dan peristiwa sehari-hari sebagai sesuatu yang layak dipertontonkan, minimal kepada pemirsa yang saling menyimpan nomor. Yang dipertontonkan pun bisa menjadi representasi maupun presentasi atas narasi tertentu. Pada unggahan-unggahan status WhatsApp, kita sebenarnya sedang mempertontonkan suatu naskah, meskipun itu naskah yang entah. Dari perspektif ini, semua hal bisa sama layaknya untuk direkam dan dipertontonkan. Atau lebih jauh lagi, semua hal dalam hidup sehari-hari bisa sama layaknya dialami sebagai tontonan, sebagai sinema. Tawaran Risang ini punya dua implikasi. Pertama, ia bisa menjadi mekanisme reflektif atas hidup sehari-hari yang kadung mengalir ini. Perspektif film bisa dijadikan perangkat untuk menonton dan memikirkan ulang peran kita dalam ‘naskah hidup’ yang sudah dilakoni, di sinilah status WhatsApp dan arsip vernakular lainnya punya peran penting. Kedua, kalaupun refleksi tak hadir dalam praktik kepenontonan tadi, perspektif film tetap ampuh membikin hidup jadi terlihat lebih menarik untuk dijalani. Inilah tawaran konkret perspektif film bernapaskan keseharian.
Risang Panji Kumoro atau sering kali dipanggil Risang merupakan seorang pembuat film yang saat ini sedang disibukkan mengerjakan beberapa proyek audio visual, lahir pada 10 Mei 1999. Setelah menamatkan perkuliahan di Jurusan Film dan Televisi Institut Seni Indonesia Yogyakarta, ia mengambil peminatan film dokumenter dan mulai mengamati persoalan personal dan isu sosial yang terjadi di sekitarnya. Beberapa tahun terakhir ia disibukkan dengan riset autoetnografinya tentang konflik Maluku dan kisah perjalanan transmigrasi yang dahulu sudah dilalui oleh keluarganya.