Tulisan dalam rubrik ini merupakan hasil dari program lokakarya penulis yang dilaksanakan pada tanggal 3-4 April 2024 di Joglo Mandapa, Bantul, Yogyakarta, partisipan berasal dari peserta Asana Bina Seni Biennale Jogja serta perwakilan dari Festival Film Dokumenter (FFD), Indonesian Dance Festival (IDF), ARTJOG, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Lokakarya ini menjadi wadah untuk memikirkan irisan internasionalisme seni dan wacana dekolonisasi dalam konstelasi seni global.
Sesi dibuka dengan kuliah dari Wildan Sena Utama, peneliti sejarah yang fokus pada pengaruh Konferensi Asia Afrika dalam berbagai aspek kehidupan Indonesia pasca kemerdekaan, termasuk lingkup seni dan budaya. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian 4 kelompok pembahasan : seni rupa, film, sastra dan seni pertunjukan.
Hasil Lokakarya Penulis Kolaborasi: Seni Rupa
Kesenian Kita Mau Dibawa Kemana?
oleh Theresia Alit & Ignatius Suluh
Pembahasan diawali dengan perbincangan mengenai Indonesia, Spirit Bandung dan Proyek Kolektif Kebudayaan Transnasional. Banyak perubahan terjadi di berbagai bidang pasca Konferensi Asia Afrika atau Spirit Bandung. Pada masa itu Negara-negara Asia pada masa itu belum banyak yang merdeka. Bandung Spirit mengkonsepkan mengenai norma politik Indonesia yang bebas aktif. Inilah yang menciptakan solidaritas negara-negara Asia Afrika. Dari pemaparan – pemaparan tersebut, kemudian muncul beberapa pertanyaan lebih jauh : Bagaimana membaca peta internasionalisasi seni di bidang masing-masing? Apakah relevan membayangkan Spirit Bandung hari ini? Bentuk apakah yang mungkin? Isu apakah yang urgent dalam proses internasionalisasi (distribusi, produksi, edukasi, produksi wacana)?
Pada ruang lingkup seni rupa, muncul keresahan mengenai internasionalisasi seni rupa. Belakangan secara lisan di Yogyakarta muncul konsep mengenai Jogja Renaissance, namun wacana ini hanyalah sebatas pertukaran misi kebudayaan, namun tidak berdampak signifikan pada kegiatan kesenian kontemporer. Pada bidang seni rupa, salah satu kendala teknis mengenai internasionalisasi adalah soal logistik. Adanya jarak antara pemerintah dan pelaku seni (baik secara teknis maupun secara pengetahuan), membuat kegiatan seni rupa tidak memiliki gaung yang meluas. Sebagai pembanding adalah kegiatan Documenta serta Biennale Singapore. Di negara penyelenggara, kegiatan-kegiatan kesenian tersebut bergaung secara meluas, bahkan di ruang-ruang publik dapat kita jumpai kesadaran akan kegiatan seni tersebut melalui iklan, spanduk, maupun media yang lain.
Pada proses internasionalisasi pada bidang seni rupa, pasar, jejaring dan wacana merupakan beberapa hal yang mendasar yang perlu dipikirkan. Menciptakan pasar seni rupa yang sehat juga penting selain produksi karya. Hal yang menjadi kendala dalam proses kerja seni berkaitan dengan pemerintah antara lain mengenai administrasi yang melelahkan sehingga berpengaruh pada kerja kesenian. Selain itu belum adanya kesadaran mengenai manajemen seni serta pengetahuan tentang pasar juga menjadi kendala dalam persoalan internasionalisasi.
Proses internasionalisasi yang real bersumber pada komunitas. Adanya urgensi mengenai aktor dan agensi meliputi produser dan kurator. Kehadiran lembaga yang menunjang kesenian juga berpengaruh pada proses internasionalisasi misalnya Dewan Kebudayaan / Kesenian, Taman Budaya. Mengenai estetika kemudian muncul sebuah pertanyaan apakah keterwakilan identitas tertentu mencerminkan Indonesia, karena di dalam proses tersebut terdapat negosiasi. Sebagai sebuah representasi kemudian muncul kembali pertanyaan apakah masih relevan mengenai gagasan estetika sebagai identitas tunggal?
Proses yang terjadi dalam komunitas mungkin bisa disebut sebagai perluasan jaringan. Komunitas, kelompok, atau dalam hal ini bisa disebut sebagai kolektif seni bekerja dengan berjejaring. Dari jejaring itu timbul pertukaran informasi tentang apa yang sedang terjadi di tempat (negara) lain. Jika melihat linimasa, pola seperti ini sudah dilakukan sejak era ISI masih berada di Gampingan. Buku Jogja Agro Pop yang ditulis oleh Nano Warsono menjelaskan beberapa hal terkait praktik pertukaran seniman. salah satunya tentang aktivitas kolektif Apotik Komik. Beberapa anggota Apotik Komik bertandang ke Amerika untuk membuat mural, begitu juga sebaliknya.
Selain itu mungkin bisa dilihat juga ‘Cemeti Effect’. Seniman seperti Ade Darmawan setelah pameran tunggalnya di Cemeti – Deodorant Display of Power, 1997, mendapat rekomendasi dari pendiri Cemeti, Nindityo Adipurnomo untuk residensi di Rijksakademie van Beeldende Kunsten, Belanda. Sepulangnya dari Belanda ia membawa jaringan yang ia peroleh selama residensi dan bersama Hafiz Rancajale, Ronny Agustinus dan beberapa seniman di Jakarta menginisiasi ruangrupa. Jejaring tersebut dilakukan secara organik, casual, tidak ada tendensi tertentu selain menambah jaringan berkesenian di belahan dunia lain.
Boom seni rupa yang terjadi dua kali, yakni pada 1980-an dan 2006 juga punya andil dalam proses internasionalisasi. Seniman Indonesia dan karyanya mulai dikenal pengunjung khalayak Internasional. Dalam peristiwa tersebut lebih ditekankan pada transaksi jual beli karya, yang kemudian membuat terbentuknya pasar seni rupa.
Hingga kini kedua praktik internasionalisasi tersebut masih berjalan, baik yang secara organik lewat jejaring pertemanan, maupun yang lewat cara transaksional. Di sini masih belum terlalu terlihat peran pemerintah, para seniman masih melakukannya secara mandiri. Dana bantuan baru dirasakan 5 tahun belakangan, itupun jika kebijakan atau alokasi dana untuk kesenian tidak berubah.