Konsep Karya
Pada pameran ASANA BINA SENI Biennale Jogja 2021 ini, kami mengolah materi yang berangkat dari jurnal perjalanan Alfred Russel Wallace di Nusantara yang telah diterbitkan dalam buku berjudul The Malay Archipelago atau Kepulauan Nusantara. Dalam buku yang tersebut, ditemukan sebuah “garis tak nyata” yang membatasi endemik flora dan fauna yang ada di Nusantara yang kelak disebut sebagai Wallacea Line atau Garis Wallacea. Wallacea Line ini menjadi pedoman dan pijakan banyak kerja ilmiah untuk meneliti, mengamati keanekaragaman hayati yang ada di Nusantara (termasuk yang saat ini menjadi wilayah Malaysia, Singapura, Brunei), asia Tenggara dan Australia.
Berangkat dari gagasan ini, Wallacea Line dari bacaan kami kemudian bukan hanya menjadi penanda kategori wilayah untuk keanekaragama hayati, tapi juga menjadi penanda kondisi sosial, ekonomi, ekologi hingga budaya dari wilayah tersebut. Flying Saroong kemudian mencoba melakukan eksplorasi atas bacaan terkait fenomena yang terjadi di wilayah Wallacea Line ini melalui kerja puppetry, koreografi, hingga performans-inslatasi.
Profil Seniman
Setelah mengelola sebuah workshop manipulating objects dan dasar-dasar puppetry di Makassar untuk program Wallacea Week 2018; sebuah festival untuk perayaan 150 Tahun napak tilas Alfred Russel Wallace, Bapak Keanekaragaman Hayati Dunia, Febri dan Abdi Karya menggagas sebuah proyek kolektif bernama Flying Saroong. Sebuah kolaborasi seni pertunjukan dan lintas medium yang berangkat dari kerja kami masing-masing; sutradara teater boneka Flying Balloons Puppet serta Abdi Karya yang bekerja sebagai sutradara, performer dan manager seni yang banyak mengelola karya-karya instalasi dan performance menggunakan sarung dan tubuh. Kami kemudian sepakat untuk menjelajahi kemungkinan lain dari teater boneka melalui penjelajahan tubuh dan sarung serta tekstil sebagai materi utama objek teater boneka. Eksperimen-eksperimen serta karya yang kami kerjakan mencoba mengolah ketegangan antara tubuh-material-sensasi to play or to be played menjadi materi yang menggairahkan untuk kami olah sedemikian rupa. Jika puppetry pada umumnya cenderung “mematikan tubuh” puppeteer/player-nya sehingga pertunjukan fokus pada puppetnya, maka kami berupaya melakukan proses ulang-alik antara bermain sebagai puppeteer, aktor, penari, atau performer.