Oleh: Anam Khoirul
(Foto karya Tamarra, Dokumentasi Gevi Noviyanti, 2019)
Pada 2019, Biennale Jogja seri Equator (khatulistiwa) yang diperhitungkan dalam konstelasi seni internasional memasuki proyek kelima dari enam agenda pameran, dari tahun 2011 sampai 2021. Pada tahun ini, Biennale Jogja bekerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, mengangkat isu tentang “pinggiran” dalam fenomena sosial, politik, dan kebudayaan yang terjadi di Asia Tenggara, yang mana bukan lagi hal baru di skena seni. Bertajuk “Do we live in the same playground?” dikuratori oleh tiga kurator; Akiq AW dan Arham Rahman (Indonesia), dan Penwadee Nophaket Manont (Thailand), bekerja sama dengan 52 seniman individu maupun kelompok, 33 seniman Indonesia dan 19 seniman Asia Tenggara. Digelar di tiga lokasi; Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jogja National Museum (JNM) dan Kampung Ketandan-Jogoyudan, pada tanggal 20 Oktober – 30 November.
Masuk kedalam pameran terbaik 2019 dari 15 pameran di seluruh dunia versi Hyperallergic ini terlihat sangat kompleks dan berlapis, namun lengkap. Kenapa saya katakan lengkap? Tak lain karena karya-karya artistik yang dipamerkan dalam Biennale Jogja #5 ini mencakup berbagai aspek yang sering kali mencoba dipisahkan dari seni, ataupun dikotak-kotakan dalam keranjang yang berbeda. Seperti masalah identitas (agama, ras dan gender), sosial, politik, sejarah, lingkungan, kemanusian dan kebudayaan. Kita dapat melihat “pinggiran” tidak terbatas pada geografis atau tempat. Tetapi lebih mengarah pada subjek yang dirugikan atau dimarjinalkan dalam struktur masyarakat, yang didialogkan kurator dan seniman dalam “playground” yang disebut menjadi ruang hidup dan ekspresi.
Hal ini menjadi menarik dalam sebuah pameran seni, dan tentunya karya-karya tersebut relevan dalam konteks hari ini. Mengingat di mana Indonesia dan kawasan Asia Tenggara mempunyai sejarah kolonialisme dan neokolonialisme yang sama. “Do we live in the same playground? Pinggiran?” pertanyaan kritis inilah yang dijadikan tajuk dan pegangan dialog dalam pameran. Namun, dalam pameran tersebut tidak merepresentasikan politik secara langsung yang menyebut sebagai pinggiran di medan seni Internasional (global art world), karena melihat Asia Tenggara dan Indonesia sendiri juga membuat konstruksi geopolitik (pinggir dan pusat).
Bagi saya, karya-karya yang dipamerkan sangat menarik semua dalam segi wacana dan estetika, dan membuat saya terkesan. Dari ke 52 karya yang saya lihat, saya tertarik dengan beberapa karya yang mengangkat tentang isu gender. Seperti karya Citra Sasmita dengan Timur Merah Project: The Embrace of My Motherland, Tamarra dengan Menelusuri Bissu, Ika Vantiani dengan Proyek Kata untuk Perempuan, Yosep Arizal feat Laviaminora dengan Tanggalan Barohiwiyah, Ferial Afif dengan PU/S/T/A/T/K/R/A berkolaborasi dengan sembilan seniman, dan Muslimah Collective dengan kehidupan muslim di Pattani, Thailand.
Narasi Melawan Marginalisasi oleh Patriarki
Umumnya, seniman mempresentasikan, mengekspresikan diri maupun mengkritisi lingkungannya pada karya yang ia ciptakan. Demikian yang dapat kita lihat dari karya-karya seni yang disajikan dalam pameran ini. Isu gender dalam ke-enam karya yang sudah saya sebutkan tersebut memiliki fokus masing-masing, ada yang menyoal tentang konter narasi budaya patriarki, feminisme, seksualitas male gaze, kesetaraan gender, dan sistem gender.
Berangkat dari teori sosiologi gender, status dianggap paling penting —yang kita peroleh melalui upaya sendiri atau dengan anggapan yang dilahirkan— seperti jenis kelamin, ras, dan kelas sosial. Mengapa? Karena status adalah sebuah posisi dalam sistem sosial. Adanya kelas sosial menyebabkan adanya sebuah peran yang terkait dengan suatu status, yang sesuai dengan norma sosial dalam situasi tertentu. Norma sosial menentukan hak istimewa dan tanggung jawab yang dimiliki status. Seperti wanita dan pria, ibu dan ayah, dan anak perempuan dan laki-laki, semuanya berstatus melekat dengan persyaratan peran normatif yang berbeda, yang kita sebut gender role (peran gender). Struktur sosial, status, dan peran memungkinkan mengatur kehidupan kita dengan cara yang konsisten. Hal ini menimbulkan stereotip, di mana terkadang stereotip yang negatif dapat mengakibatkan seksisme. Kemudian seksisme diabadikan oleh sistem patriarki, struktur sosial yang didominasi laki-laki. Norma-norma berpusat pada laki-laki yang beroperasi di semua lembaga sosial, menjadi standar yang dipatuhi semua orang. Mengarah pada keyakinan bahwa status perempuan lebih rendah daripada status laki-laki, dan tidak dapat diubah karena peran gender ditentukan secara biologis (Linda L Lindsey, 2015, p. 2-3).
Sebagai seniman Citra Sasmita hadir untuk mengonter narasi demikian —kontra-narasi terhadap teks-teks kanon budaya Bali kuno yang mendukung kuasa laki-laki dan kepahlawanan (masculine)— yang kerap menjadi sentral kekuasaan dan lahir di lingkungan elit pria istana. Karya seri kedua dalam proyek Timur Merah —setelah The Harbour of Restless Spirits— adalah sebuah kritik yang sama, bagaimana Citra menggambarkan perempuan menjadi tokoh sentral dalam setiap karyanya. Narasi ini ingin menawarkan interpretasi alternatif yang mungkin memberi jalan bagi pengetahuan baru, yang membahas tentang penciptaan dan hubungan manusia. Dalam konteks ini, Citra mencoba merekonstruksi narasi lama yang sangat patriarkis dalam teks kanon terutama babad di Bali, seperti peperangan dan seksualitas.
Selain Citra, Ferihal Affif dalam Program Residensi Kelana dan Rimpang Nusantara juga menghasilkan narasi baru tentang kepahlawanan atau tokoh-tokoh perempuan —yang tidak dikenal dalam narasi sejarah arus utama yang didominasi oleh laki-laki— selama menelurusi Sumatera Timur. Dalam penelusuran tersebut, Ferial mengunjungi situs, membaca arsip, dan menggali cerita dari narasumber. Kemudian ia mengajak sembilan seniman perempuan muda; Anjani Citra, Aurora Sastika P, Dwi Kartika Rahayu, Ida Ratnaningrum, Irene Indirasari, Reza Prastica Hasibuan, Saranova Sandradewi, Titiek Sundari, dan Veronica Liana untuk menggambarkan citra wajah perempuan ini melalui cerita-cerita yang ia hadirkan. Proyek ini menjadi upaya bersama sebagai narasi tandingan dan untuk membangkitkan kembali sejarah yang dimarginalkan. Citra dan Ferial menolak dalam struktur sosial yang dibentuk dominasi laki-laki, yang secara konsisten diabadikan dalam budaya patriarki.
Dalam “Proyek Kata untuk Perempuan” juga memberi prespektif lain dari narasi dominan, meskipun tidak terlalu radikal dan provokatif seperti Citra. Ika Vantiani mengawalinya dengan lokakarya kolase yang dilakukan pada bulan Oktober 2015, di mana peserta dari lokakarya menjawab pertanyaan “apa satu kata yang artinya perempuan untukmu?” untuk membuat sebuah kolase. Hal ini dilakukan Ika mengingat narasi utama dalam budaya patriarki tidak mampu mendeskripsikan tentang perempuan secara luas dan adil. Menariknya, Ika tidak sendiri untuk membuat narasi baru tentang perempuan, ia melibatkan partisipasi publik. Dipresentasikan lewat bahasa yang dipergunakan sehari-hari, kemudian diilustrasikan melalui kolase manual, yang ditampilkan kembali ke publik. Kata-kata yang muncul dari proyek ini sangat bermacam-macam, seperti tough, pemimpin, gossip, kuat, belanja, revolusi, pertempuran, berani dan sebagainya.
Potret lain menyoal marginalisasi perempuan juga datang dari luar Indonesia, perlawanan melalui seni datang dari bagian paling Selatan Thailand. Mereka adalah Keeta Isran, Nuriya Waji, Heedayah Mahavi, Kusofiyah Nibuesa, dan Arichama Pakapet. Lima seniman yang tergabung dalam Muslimah Collective ini berusaha mengangkat realitas masyarakatnya dalam bingkai pandangan tentang jilbab, dengan merepresentasikan keseharian muslimah di pinggiran Thailand yang mayoritas agamanya Buddha. Mereka ingin menunjukan bagaimana nilai keperempuanan dan refleksi kecantikan tidak hanya datang dari pusat, dengan kata lain mereka ingin memperjuangkan identitas mereka, soal kesetaraan dan harapan tentang perdamaian. Hal senada juga hadir dari irama musik heavy metal, oleh remaja-remaja muslimah asal Garut pada pembukaan pameran. Lewat seni sebagai simbol resistensi, mereka berusaha melawan pandangan Islam konservatif di pinggiran Jawa Barat. Semangat yang sama antara Voice of Baceprot dan Muslimah Collective, dalam bingkai pandangan soal jilbab.
Objektifikasi Tubuh Perempuan
Upaya mendekonstruksi gender melalui narasi baru untuk melawan patriarki dalam memarginalkan perempuan adalah hal penting. Suatu langkah untuk penghapusan penindasan perempuan terutama dalam segi struktural. Namun —dilihat dari sejarah hingga saat ini— mengapa dalam semua proyek tersebut masih menggunakan objek perempuan? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada poster yang menampilkan tubuh bergambar dari Grande Odalisque Ingres berkepala gorila —yang dibuat kolektif feminis the Guerrilla Girls tahun 1989— dengan teks “Apakah perempuan harus telanjang untuk masuk Museum? Kurang dari 5% seniman dari bagian seni modern adalah perempuan, tetapi 85% nya adalah perempuan telanjang”.
Pertanyaan tentang objektifikasi tubuh perempuan mengantarkan saya pada tulisan Citra Sasmita di laman Jurnal Perempuan, yang mengkritisi pendapat Basoeki Abdullah tentang “perempuan itu lebih cocok dilukis bukan sebagai pelukis”. Dalam tulisanya, ia berpendapat bahwa, “Dalam membentuk paradigma seni rupa di Indonesia, tidak cukup banyak perempuan perupa yang mengungkapkan pengalaman objektif mereka dalam bentuk karya, karena subyektifitas masih membelenggu mereka dalam gagasan-gagasan visual”. Citra juga menjelaskan alasan mengapa ia lebih memilih objek perempuan telanjang yang ditonjolkan pada karya-karyanya, dalam artikel Mendobrak Nilai-Nilai Patriarki Melalui Karya Seni (2018), alih-alih mengobjektifikasi laki-laki. Ia mengatakan “rasa malu yang dialami perempuan ketika melihat kemaluannya sendiri merupakan konstruksi dari masyarakat patriarkis”. Ketelanjangan di sini merepresentasikan sebagai simbol untuk kejujuran dan kemurnian identitasnya. Namun, saya menangkap hal yang lebih mendasar dari sekedar mengobjektifikasi tubuh perempuan. Berdasarkan analisa saya, tubuh perempuan dalam karya Citra tidak memiliki peran pasif sebagai objek tontonan pria. Sependapat dengan Citra yang mengatakan bahwa ketelanjangan dalam karyanya tidak menggambarkan sosok telanjang secara realistis. Tidak seperti karya-karya Basoeki Abdullah yang cenderung menonjolkan keindahan dalam artian superfisialnya saja. Ini berbeda dengan S. Sudjojono pada karya “Di Depan Kelambu Terbuka” (1939), meski sama sama melukis dengan objek perempuan.
Untuk contoh lain, coba bandingkan “Gadis Bali” (1942) karya Basoeki Abdullah dan “Gadis Bali di Pintu Batu” (1941-1946) karya Emiria Soenassa. Kita dapat melihat perbedaanya, dalam “Gadis Bali” diperhitungkan sebagai objek hasrat. Di sini male gaze (tatapan laki-laki) bergerak antara pandangan ilmiah dan estetika seksual dengan visual. Berbeda dengan “Gadis Bali di Pintu Batu”, Emiria menggambarkan perempuan secara hidup. Alih-alih menonjolkan keindahan dan keeksotisan gadis bali, ia justru menggambarkan perempuan yang terlihat terhimpit oleh sebuah bangunan batu, yang dimetaforakan sebagai konstruksi budaya yang menghimpit. Emiria juga berusaha menolak pengidealan tubuh perempuan dan male gaze ketika melukis perempuan. Begitupun dengan karya Citra “The Embrace of My Motherland” pada Biennale Jogja ini. Jadi, hubungan perempuan dengan objek-objek visual ini tidak pernah polos. Perhatian terhadap perempuan sebagai pemirsa aktif harus menghadapi politik dari berbagai pertemuan visual.
Berhubungan dengan male gaze, kita diarahkan pada karya Yosep Arizal “Tanggalan Barohiwiyah” yang menarik perhatian. Karya apropriasi dari sebuah teks primbon Jawa yang menghimpun pengetahuan seksualitas. Di mana terdapat sistem penanggalan 15 hari, yang bercerita tentang 15 bagian badan perempuan yang perlu disentuh pada hari-hari tertentu sebelum bercinta. Tentu sama seperti teks-teks kanon lain, dalam kitab ini ditulis dengan pandangan laki-laki (male gaze). Hal ini punya narasi resistensi yang sama dengan Citra soal seksualitas, tetapi yang berbeda dan menarik adalah ketika Yosep memiliki status laki-laki yang menempel, dan ia memberi intervensi dengan membuat narasi tandingan melalui ubahan posisi laki-laki sebagai objek tatapan dalam karyanya. Namun, posisi Yosep sebagai laki-laki membuatnya sadar akan keobjektifannya dipertanyakan. Oleh karena itu, untuk menjaga keobjektifan dalam tatapan (non male gaze), ia mengandeng seorang seniman sekaligus penggiat isu perempuan, Farah Al-Kaff (Laviaminora). Ini adalah sebuah negosiasi yang baik. Alih-alih dibingkai fokus pada kesenangan visual laki-laki dalam tubuh perempuan, interpretasi perlu mengakui multiplikasi konteks, hubungan penerimaan, keberagaman, kontingen makna, dan efek representasi.
Dekonstruksi Gender
Dalam dialog antar karya yang sudah kita bahas di atas, ada celah kelemahan dan kekurangan dalam narasi tandingan arus utama (patriarki). Bagi Butler’s dalam Gender Trouble (1990), ketika narasi alternatif semakin kuat memperlakukan “perempuan” sebagai kelompok yang koheren dan bersatu adalah titik awal sebuah masalah. Baik budaya mainstream dan feminisme cenderung setuju bahwa “perempuan” adalah kategori yang logis: apakah itu membenarkan stereotip dan diskriminasi terhadap perempuan, atau memperjuangkan hak dan kesetaraan bagi perempuan. Hal ini, menunjukkan bahwa menjadi seorang wanita bukanlah ciri identitas yang menentukan mereka terhindar dari penindasan lainnya. Dengan kata lain, malah berisiko mempertegas dan memperkuat hubungan gender yang mendukung ketidaksetaraan dan penindasan.
Maka dari itu, setiap orang —termasuk feminis— harus menghindari generalisasi dan asumsi universal tentang “perempuan” atau “laki-laki” seolah-olah itu adalah kategori yang logis. “Jenis kelamin” dalam hal ini tidak hanya kategori biologis atau kategori sosial —dan karenanya berbeda dari “gender” — tetapi kategori linguistik yang ada, seolah-olah, ada perbedaan antara sosial dan biologis. Istilah “jenis kelamin yang bukan satu” dipahami dengan tepat sebagai apa yang tidak dapat ditangkap oleh angka. Pendekatan lain bersikeras bahwa “transgender” tidak benar-benar jenis kelamin ketiga, tetapi mode perpindahan antar jenis kelamin, tokoh gender interstitial dan transisi yang tidak dapat direduksi menjadi desakan normatif pada satu atau dua. Hal ini mengajarkan kita bahwa gender adalah “suatu hubungan” termasuk seperangkat hubungan, dan bukan atribut individu.
Untuk itu, seperti pendapat saya diawal yang mengatakan bahwa pameran ini lengkap untuk sebuah perhelatan. Bagaimana narasi alternatif soal resistensi melawan marginalisasi oleh patriarki, dengan apik dilengkapi oleh narasi lain soal sistem gender yang tidak biner. Penyeimbang untuk mendekonstruksi gender tersebut dapat dilihat pada karya Tamarra —aktif melakukan berbagai riset dan proyek terkait dengan isu-isu transgender— berjudul “Menelusuri Bissu”. Dalam hal ini, perbedaan cara orang mengembangkan seksualitas dan menggambarkan bahwa tubuh tidak perlu dianggap sebagai pria atau wanita. Keragaman historis dan budaya dalam bagaimana gender dipahami menunjukkan kepada kita bahwa identitas tidak harus bersifat biner, atau berdasarkan pada pemahaman kita saat ini tentang apa itu menjadi maskulin atau feminin.
Meskipun Tamarra tidak fokus membahas sistem gender, isu ini penting untuk penyeimbang narasi feminis. Pada karya ini, Tamarra fokus pada pengalaman perjalanannya sebagai subjek yang tengah melakukan “perjalanan spiritual” atau ziarah, untuk bertemu dengan komunitas Bissu. Tamarra menampilkan karya yang memberi gambaran perihal kehidupan spiritual komunitas Bissu serta aneka persoalan yang mereka hadapi, baik yang berlangsung di masa lalu maupun sekarang. Karya ini disajikan dengan konsep yang menarik, dengan ruangan yang gelap tanpa cahaya kecuali dari layar monitor, menggunakan senter untuk melihat gambaran kehidupan komunitas Bissu. Sangat simbolis, penonton diajak ikut merasakan perjalanan spiritual ini.
Selain karya tersebut, Tamarra juga ikut andil menginisiasi kelompok penyanyi transpuan yang dinamakan Amuba. Mereka juga tampil untuk melengkapi pada pameran kali ini. Hal ini juga penting, menjadi sebuah gambaran dari gerakan kelompok queer yang termarginalkan, untuk menunjukkan pernyataan bagaimana praktik seni memberi dukungan pada kelompok-kelompok tersebut. Di mana tema yang coba didialogkan kurator sudah sangat sesuai dengan konteks hari ini.
Referensi:
Barker, M. J. (2016). Queer: A graphic history. Icon Books.
Butler, J. (2004). Undoing gender. Psychology Press.
Butler, J. (2011). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. routledge.
Lindsey, L. L. (2015). Gender roles: A sociological perspective. Routledge.
Nash, C. (1996). Reclaiming vision: looking at landscape and the body. Gender, Place and Culture: A Journal of Feminist Geography, 3(2), 149-170.
Putri, A. D. H. P., Bahari, N., Wahyuningsih, N., & Sasmita, C. (2018). Mendobrak Nilai-Nilai Patriarki Melalui Karya Seni: Analisis Terhadap Lukisan Citra Sasmita. Ekspresi Seni: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni, 19(2), 159-173.
https://historia.id/kultur/articles/menolak-pandangan-lelaki-lewat-lukisan-D8JQ1
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/metanarasi-perempuan-dalam-seni-rupa
https://www.artandmarket.net/dialogues/2020/3/9/conversation-with-balinese-artist-citra-sasmita
https://artreview.com/reviews/ara_spring_2020_review_biennale_jogja_xv/