Arang pada Goni, Meja Kayu, Lukisan, suara dan Lampu dengan Timmer
Konsep Karya
Matinya tanah Firdaus merekonstruksi narasi proses pengawahutanan ( Deforestation ) dan Pengurunan (Desertification) di Gunungkidul yang berpuncak pada jaman gaber, bebarengan serangan hama tikus pada tahun 1960an.
Kejadian yang tak lepas dari dampak gagalnya pengelolaan Hutan baik oleh pemerintah Hindia Belanda, Keraton Yogyakarta dan andil masyarakat Gunungkidul menyebapkan pergeseran dari apa yang Junghuhn illustrasikan seperti tanah Firdaus menjadi tanah mati. Arang yang menjadi komoditas masyarakat desa Wanalagi, sebagai salah satu representasi dari bentuk andilnya masyarakat dalam pengundulan hutan yang didasari dari tidak adanya solusi atau tawaran lain untuk memenuhi kebutuhan. Desa yang berada di pinggiran kali Oya dan berbatasan langsung dengan hutan distrik Playen tersebut sejak dulu di kelola oleh Keraton Yogyakarta hinga Hindia Belanda, menjadi pusat industri Arang rumahan yang kini hilang tak tersisa satupun. Arang yang di buat dari kayu-kayu curian dihutan diangap menjadi upaya yang mudah namun di sadari turut andil dalam proses gundulnya hutan distrik Playen yang berujung tersisanya tanah tegalan, mati dan hitam.
Narasumber mengisahkan pencurian kayu yang dilakukan malam hari untuk diolah menjadi arang, yang kemudian dijual maupun diambil oleh pengepul pada hari selanjutnya. Disadari kegiatan tersebut turut andil menghilangkan hutan yang berakibat pada penyerangan hama tikus besar-besaran sebagai tanda ada yang salah terhadap keseimbangan alam Gunungkidul. Gundulnya Hutan, Matinya tanah dan keadaan yang berat selepas penjajahan memaksa untuk memanfaatkan goni sebagai bahan pakaian maupun pelindung kaki selama serangan tikus berlangsung.
Arang yang hitam dan goni yang berlubang menarik dan merepresentasikan proses matinya tanah Firdaus yang berujung penyerangan tikus besar-besaran. Namun sisa-sisa kesalahan masa lalu masih belum bisa tertutupi semua, cerita-cerita yang berbisik dan illustrasi Junghuhn yang berlapir tersimpan dalam peti kayu. Ingatan tentang arang, goni dan dan semua yang mati terbuka bernafas sedikit lewat sela-sela peti tersebut.
Profil Seniman
Raden Kukuh Hermadi lahir di Gunungkidul 1995, Lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta , Jurusan Seni Murni, Konsentrasi Seni Grafis. Dalam karyanya ia tertarik mengangkat cerita-cerita daerah asalnya baik yang dipercaya sebagai mitos maupun sejarah yang mungkin kabur. Dalam berkarya ia kerap menggunakan beragam media seperti lukis, video maupun cetak. Beberapa pameran yang pernah diikuti antara lain pameran bersama “Platform Perupa Muda Biennale XV, Dari Batu, Air dan Alam Pikir….Untuk Kehendak Bebas Manusia” PKKH UGM (2019), “Paradox 2018” Lawangwangi Creative Space, Bandung (2018) dan “Bloom in Divercity ISI dan ITB, Balai Banjar, Sangkring, Yogyakarta (2017). Selain itu juga berpartisipasi dalam beberapa program antara lain “Partisipan Shared Residence-Poklong Anading “ARTJOG MMXIX (2019 ), Mengikuti program Residensi WORK (IN) TITLE: SILANG TEMPAT antara FSR Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan FSRD Institut Teknologi Bandung, di Bandung. Pameran bersama 40 nominator “Re-Mitologisasi Kompetisi Basoeki Abdullah Art Award #3.