Karya: Laviaminora
Penulis: Eliesta Handitya
Catatan Kuratorial
“Menjaga Api Perlawanan Pada Suara yang Dibungkam”
Barut Neraka menyuarakan kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini diabaikan. Sebab, banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual tak pernah dibicarakan, bahkan cenderung dibungkam dalam tataran kehidupan sehari-hari. Melalui Barut Neraka, Laviaminora mengambil perspektif perempuan penyintas kekerasan seksual.
Pengalaman kekerasan seksual kerap kali dianggap sebagai kesalahan moralitas penyintas: baju tak pantas, dianggap kegenitan, dan berbagai bentuk stereotip gender yang malahan mengaburkan pentingnya penanganan kasus kekerasan seksual itu sendiri. Logika macam ini terjadi karena adanya ketimpangan gender, dibentuk oleh konstruksi terhadap posisionalitas gender yang menciptakan relasi kuasa senjang antara laki-laki dan perempuan. Selama ini, acap kali laki-laki dianggap memiliki posisi lebih tinggi (superior) dibandingkan dengan perempuan, atau dilihat sebagai ‘objek’. Pandangan tersebut membuat perempuan selalu berada dalam posisi rentan mengalami kekerasan seksual.
Kemarahan terhadap dibungkamnya ruang-ruang untuk menyuarakan perlawanan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual menjadi isu yang diangkat oleh Laviaminora dalam karya bertajuk Barut Neraka. Karya ini menjadi corong untuk mengamplifikasi/menggaungkan perjuangan melawan kekerasan seksual dalam tataran diskusi yang lebih meluas menggunakan medium seni rupa. Barut Neraka merangkum suara-suara penyintas, sekaligus sebagai bentuk kritik atas kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini jarang— untuk tidak mengatakannya tidak pernah— ditangani secara serius.
Barut Neraka terinspirasi oleh Me Too Movement, sebuah gerakan perlawanan terhadap kekerasan seksual yang memberikan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan kasus-kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Gerakan Me Too diinisiasi pada tahun 2006 oleh Tarana Burke, seorang aktivis feminis dan penyintas kekerasan seksual berbasis di Amerika Serikat. Gerakan ini terus meluas hingga menciptakan gerakan berbasis virtual melalui tagar #MeToo yang digaungkan untuk menyuarakan kasus-kasus kekerasan seksual dan menjadi cara bersolidaritas terhadap penyintas kekerasan seksual.
Bagi Laviaminora, Barut Neraka menjelma sebuah memoar bagi kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini tak pernah diangkat ke tataran kehidupan sehari-hari, atau dianggap sebagai persoalan privat yang tak perlu dibahas di ranah publik. Bahkan dalam beberapa kasus, kekerasan seksual dianggap sebagai perilaku yang “normal” (terjadi upaya normalisasi), seperti terjadi dalam banyak kasus misalnya catcalling, perundungan seksual, kekerasan dalam berpacaran, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, tak jarang kekerasan seksual dilakukan oleh kerabat dekat, bahkan keluarga.
Barut Neraka adalah antologi kisah-kisah perjuangan penyintas, gumpal-gumpal kalut dan sekumpulan amarah yang diterjemahkan melalui pengkaryaan artistik seni rupa. Laviaminora menghadirkan karya berupa lukisan, instalasi kelambu, dan serakan kertas yang seluruhnya berusaha menggambarkan kompleksitas kasus kekerasan seksual yang selama ini ter-(dan di-)bungkam, tak terjamah. Karya lukis dihadirkan sebagai respons Laviaminora terhadap kisah-kisah penyintas kekerasan seksual secara partisipatif antara seniman bersama kawan-kawan penyintas. Lukisan yang tergambar abstrak menunjukkan bagaimana selama ini penanganan kasus kekerasan kekerasan seksual yang carut marut dan tak pernah dirampungkan dengan jelas, menyisakan luka menganga dalam diri penyintas. Sementara itu, kelambu menjadi simbol yang menampilkan bahwa selama ini pelbagai suara perjuangan melawan kekerasan seksual banyak dibungkam.
Medium lain yang dihadirkan oleh Laviaminora yakni foto-foto pelaku kekerasan seksual (yang didapatkan selama proses pendalaman kasus kekerasan seksual), ia sunting sedemikian rupa hingga menampilkan kesan “abstrak”, memungkinkan kita melihat selintas wajah pelaku secara samar-samar. Sebab dalam realita pun, selama ini identitas pelaku kekerasan seksual selalu sulit diungkap. Terakhir, peti mati bertabur bunga dihadirkan sebagai bentuk duka cita atas gagalnya penyelesaian berbagai kasus kekerasan seksual di ranah hukum, sekaligus menyimbolkan matinya empati atas suara-suara perjuangan yang selama ini tak didengar. Di luar konteks ruang ekshibisi, guna memanjangkan diskusi mengenai kekerasan seksual, Laviaminora melakukan aktivasi karya melalui podcast bertajuk Laviaminora yang diisi langsung oleh sang seniman.
Barut Neraka, bagi saya merupakan wujud solidaritas Laviaminora terhadap perjuangan melawan kekerasan seksual yang berusaha terus dinyalakan di tengah gulita penanganan kasus kekerasan seksual yang kerap kali diam ditempat. Spirit Laviaminora mengingatkan saya pada Audre Lorde, seorang aktivis feminis dalam esai “The Uses of Anger: Women Responding to Racism” (1981), secara tegas mengatakan bahwa kemarahan berguna dalam menjaga api perlawanan terhadap segala bentuk peminggiran sosial, kebungkaman, stereotip dan kooptasi ruang hidup— dalam hal ini yakni perjuangan melawan kekerasan seksual.