Karya: Mutia Bunga
Penulis: Putri R.A.E. Harbie
Alam sering dianggap sebuah ekosistem yang secara mandiri dapat melakukan regenerasi cepat serta mudah beradaptasi. Manusia merasa upaya memanfaatkan sumber daya alam secara eksploitatif tidak akan menjadi masalah jika prinsip kepercayaan tersebut berlaku. Namun era antroposen telah menyebabkan semakin banyak manusia yang abai dengan kerusakan yang telah disebabkan oleh perkembangan industri.
Pada pameran Asana Bina Seni Biennale Jogja 2020 ini, Mutia Bunga membawa kegelisahannya tentang masa depan bumi yang selama ini ditutup-tutupi dengan positivitas perkembangan sains dan teknologi. Dalam hal pangan, beberapa bibit unggul merupakan hasil proses hibrida yang diharapkan bisa menjadi solusi dalam mempercepat pertumbuhan serta meningkatkan kualitas sayur atau buah.
Proses hibrida buatan manusia bermula dari kebutuhan untuk menciptakan varietas unggul, kemudian dilanjutkan dengan pemilihan karakteristik tumbuhan yang diinginkan sang saintis, terakhir beberapa sampel bibit yang dihibridakan akan diuji tumbuh. Dalam proses tersebut tidak semua bisa berhasil, masih ada kemungkinan timbulnya karakteristik yang tidak diinginkan (wawancara dengan Wisnu Ardi, botanis dan peneliti LIPI Bogor). Mutia Bunga melihat bahwa saintis -dalam hal ini botanis- dan seniman memiliki irisan proses yang cukup dekat. Perjalanan imajinasi tentang hasil tidak selalu bisa sesuai harapan meskipun sudah melewati proses yang maksimal. Manusia berimajinasi positif bahwa dirinya akan menciptakan sebuah solusi/ invensi yang akan membuat alam bisa menghasilkan sesuai ekspektasi. Namun tidak dipungkiri bahwa intervensi manusia terhadap alam sudah banyak merubah resiliensi alam beserta isinya.
Lewat perenungan tersebut, Bunga berusaha menuangkannya pada visual yang memperlihatkan alam dalam imajinasi berbentuk abstrak hingga berbentuk realis katastropik. Beberapa bagian teracak untuk memperlihatkan kemungkinan harapan dan hal positif yang masih bisa dicapai jika manusia bisa lebih sadar tentang situasi alam. Karya ini menawarkan kesadaran bahwa mengurangi egoisme manusia akan kontrol dan kecepatan terhadap alam sangat dibutuhkan untuk menghindari kiamat ekologis.
Manusia punya pilihan untuk gaya hidup yang hijau seperti: mengurangi atau mengolah limbah setidaknya dalam lingkungan rumah tangga, menerapkan hidup minimalis (tidak memiliki kebiasaan terus membeli barang baru namun tidak sesuai kebutuhan) dan sebisa mungkin memanfaatkan kembali barang-barang yang berasal dari sumber daya alam, serta makan dengan menerapkan pola pikir kesadaran penuh (mindfulness) atau bertani pangan sendiri di rumah.
Untuk menerapkan pola hidup hijau, manusia di Indonesia tidak harus mencari acuan dari negara-negara maju karena permasalahan ini dapat diselesaikan dengan pengetahuan budaya lokal yang terpinggirkan. Misalnya dalam permasalahan limbah kemasan yang baru terjadi semenjak modernisasi, sebelumnya orang Indonesia terbiasa membungkus makanan menggunakan daun pisang, daun jati dan besek. Selain itu gaya hidup minimalis sudah menjadi kebiasaan di beberapa keluarga Indonesia, meskipun hal ini sering identik dengan ketidaksejahteraan ekonomi, namun prinsip ini secara tidak langsung membantu mengurangi sandang dan papan yang berakhir di TPA. Pola makan dengan kesadaran penuh biasanya dilakukan beriringan dengan bertani pangan di lingkungan rumah. Kesadaran bahwa tumbuhan pangan dihasilkan dari proses panjang untuk dapat mencakup gizi di dalamnya, akan membantu manusia untuk tidak makan berlebihan. Beberapa resep lokal dapat menjadi pengetahuan yang sangat berharga dalam mengolah atau mengawetkan varietas pangan yang tumbuh subur di daerah tersebut.
Situasi pandemi sudah membantu alam sedikit lebih bebas dari intervensi manusia, namun timbul permasalahan baru yaitu semakin maraknya sampah sekali pakai yang tidak ramah lingkungan karena protokoler kesehatan di beberapa bidang industri. Bunga menyadari bahwa di lingkungan tempat tinggalnya pun limbah tersebut sering tidak fungsional pada akhirnya. Hal tersebut terjadi saat sebuah lapangan olahraga publik terbesar di Denpasar, ditutup menggunakan garis polisi dengan tujuan menghindari terjadinya kerumunan. Saat tatanan hidup normal baru diterapkan, seluruh garis tersebut tidak diambil atau dibersihkan, melainkan menjadi limbah yang terikat di sudut-sudut lapangan. Bunga mengambil sebagian garis pembatas tersebut untuk menjadi bagian dari karyanya, dengan pernyataan bahwa pandemi tidak bisa dijadikan alasan untuk produksi limbah non-esensial dan perlakuan semacam ini sebaiknya tidak pernah dilakukan lagi karena sudah menjadi tindak kriminal terhadap alam.