Karya: Arief Budiman
Penulis: Kurnia Yaumil Fajar
Sebanyak delapan layar LCD digantung secara portrait dan disusun saling membelakangi membentuk persegi. Ruang yang terbentuk dari susunan tersebut, dipenuhi kabel-kabel yang saling terhubung menjadi jaringan terpusat. Di bawah tiap layar terdapat pula dua speaker (pengeras suara) kecil yang mengeluarkan derau (noise). Layar tersebut menampilkan citra tangkapan layar dari laman berita Papua. Layar itu menyala sekelebat, lalu mati kembali dengan interval yang cukup lama, berlangsung secara acak pada tiap-tiap layar. Bila tidak terkecoh dengan kehadiran delapan layar LCD dan carut marut kabel yang menjuntai, pada bagian lantai dapat ditemui tulisan, “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 1 TAHUN 1967 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING”. Menggunakan kapur putih, undang-undang tersebut ditulis secara repetitif membentuk tubuh manusia yang tergeletak bak penanda titik kematian dalam TKP (Tempat Kejadian Perkara).
Karya bertajuk “Bising-Bising Media Bodong” dengan tebal menyatakan kejengkelan dalam melihat kebisingan informasi di internet. Arief mentransformasikan laman portal berita menjadi derau yang berpola dan mengganggu. Praktik ini ditemuinya ketika berselancar di internet, saat menggali informasi mengenai kondisi sosial, politik dan budaya di Papua. Segelintir portal berita yang tidak terverifikasi secara administrasi dan faktual, menyajikan informasi-informasi dengan framing yang serupa; mengabaikan pelanggaran HAM yang terjadi, menutupi kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer, memberitakan segala hal yang baik-baik mengenai militer, memojokkan kelompok yang anti negara, dan membuat pembacanya berpikir bahwa negara tengah melakukan hal ‘baik’ terhadap masyarakat Papua. Begitu banyak informasi berserak yang mengganggu pencarian-pencarian jernih. Hingga publik yang berada di luar harus terdistraksi dengan kebisingan yang membuat sulit untuk mencerna atau memahami kejadian yang sebenar-benarnya terjadi. Efek yang dapat saja berujung acuh atau kemalasan dalam mencari tahu.
Pengalaman Arief bisa jadi dialami oleh siapa saja yang terhubung dengan jaringan internet. Saat rasa keingintahuan akan suatu hal menyeruak, maka selanjutnya adalah mencari jawaban atasnya di mesin pencarian digital seperti google. Pola baru yang menghilangkan kebutuhan bertanya pada ahli atau mencari referensi melalui buku atau artikel yang tervalidasi. Selama ini barangkali kita mempercayai media sebagai corong utama dalam mendapatkan gambaran situasi di sekitar kita. Namun, menggali informasi tentang kondisi sosial, budaya dan politik di Papua adalah hal lain. Fakta sulitnya mendapatkan informasi valid tentang Papua menjadi fakta pahit tak terbantahkan.
Di tengah kemudahan ini pula, seolah kebutuhan untuk mengetahui hal yang terjadi di tempat lain pada satuan waktu yang berdekatan atau bersamaan (real-time) menjadi keharusan. Agaknya melalui karya Arief, tersirat kebutuhan lain, yakni menjadi awas pada sejarah dan juga menyadari kontrol yang dilakukan oleh para pemilik kuasa: dalam konteks Papua, adalah kontrol negara yang bergerak lewat kaki tangan pemerintah atau militer yang hadir melalui media-media ‘siluman’.
Dalam konteks sejarah, Arief menuliskan UU tentang penanaman modal asing di tahun 1967. Di mana tepat tiga bulan setelah UU tersebut disahkan, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang mendapat karpet merah untuk mengolah hasil bumi di Pegunungan Bijih (Ertsberg). Mendalami sejarah tersebut akan membawa kita pada peristiwa-peristiwa yang merenggut banyak jiwa. Serangkaian sejarah yang juga akan membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan mengenai kepentingan apa atau siapa di balik berita-berita ‘baik’ di Papua hari ini.
Karya Arief serupa monumen peringatan akan kebisingan yang dibuat oleh para pemilik kuasa. Layar-layar terpusat, semrawut, mengecoh, guna menciptakan gelembung informasi yang mampu menutupi bara juga gejolak yang sebenarnya terjadi di Papua. Juga menjadi pengingat agar selalu curiga atasnya, dan menyadari keberpihakan kita terhadap permasalahan yang berlangsung di negara ini. Hal yang mampu menjadi benteng diri dalam mengarungi jagat internet. Bahwasannya jagat ini tidak terlepas dari segala yang berlangsung di dunia nyata dengan segala permasalahan geopolitik-nya.