Your Connection was Interrupted
Ruang Jeda untuk Memeriksa Ulang Hubungan Manusia
Penulis: Anam Khoirul, Eliesta Handitya, Kurnia Yaumil Fajar, Putri R.A.E. Harbie.
Ketika layar peramban web atau browser menampilkan layar putih bertuliskan Your Connection Was Interrupted maka di saat itu pula kita tahu, perselancaran jagat maya sedang terhambat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memeriksa status koneksi guna memastikan keberadaan jaringan internet yang stabil. Meminjam proses keterputusan koneksi tersebut, pameran bertajuk Your Connection Was Interrupted menjadi upaya menelisik berbagai sudut pandang seniman muda menyoal pelbagai permasalahan yang hadir tatkala terjadi interupsi terhadap koneksi. Kami berpikir, membuka pintu pembahasan tentang koneksi dan interupsi dengan kesadaran penuh dapat dipertimbangkan sebagai langkah awal menghindari krisis kemanusiaan.
Koneksi dan interupsi bak dua sisi koin yang bertolak belakang tetapi dalam satu kesatuan. Pada satu sisi merupakan daya untuk saling terhubung, sementara yang lainnya hadir sebagai kontradiksi. Koneksi terbentuk melalui terjadinya beragam interaksi, dialog, pertukaran pengetahuan, komunikasi dan lain sebagainya. Sementara, interupsi mengandaikan koneksi-koneksi yang terputus, terganggu, dirombak, dibedah bahkan dipreteli karena beragam faktor: ketimpangan akses, distorsi informasi, kontestasi narasi, suara perjuangan yang tak kunjung didengar, hingga otoritas kuasa yang menciptakan tarikan dan tegangan dalam koneksi manusia dengan lingkungannya: alam, teknologi, dan lain sebagainya.
Koneksi dan interupsi berusaha menjadi pisau analisis untuk membedah hubungan-hubungan di antara manusia. Namun tak hanya berpusat pada permasalahan mengenai manusia, koneksi dan interupsi juga penting untuk menangkap momen hubungan manusia dengan kelindan alam, ekologi, hingga hubungan antara manusia dengan wujud benda sekalipun dalam sebuah kebudayaan yang menaunginya. Maka dari itu, koneksi dalam konteks pameran ini tidak terbatas pada koneksi di media daring, tetapi juga pada koneksi yang terabaikan antara manusia dengan sejarah, identitas, budaya, dan lingkungan. Interupsi dalam koneksi tersebut dapat juga dilihat sebagai mekanisme bela diri atas nama kedamaian, meskipun tanpa disadari permasalahan tersebut dipendam hingga menjadi luka dalam diri/kelompok manusia.
Hubungan memerlukan adanya ruang jeda interupsi yang berguna untuk memikirkan ulang, mengkritisi, melihat, dan memastikan bahwa hubungan tersebut tetap (dan akan) terkoneksi dengan baik. Berbagai bentuk koneksi dan interupsi disajikan melalui beberapa kata kunci pemantik: tantangan multimedialitas internet, politik dan keterbukaan akses pengetahuan, manusia dan kelestarian ruang hidup ekologis, serta refleksi tentang identitas— seluruhnya mewujud refleksi atas koneksi dan interupsi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Multimedialitas Internet: Fragmentasi Algoritma dan Kebebasan Berekspresi
Sebagai salah satu aspek media baru, internet saat ini menjadi aspek penting dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Internet adalah media yang diciptakan sebagai ruang, berakar pada jaringan komputer. Bagi sebagian orang, perangkat teknologi banyak membantu manusia dalam mengerjakan banyak hal secara efektif dan efisien. Meskipun internet memiliki banyak manfaat, bersifat solutif dan berpotensi menjadi media alternatif baru, ia juga tak lepas dari masalah-masalah yang kompleks seperti; peretasan, penyensoran (censorship), penyalahgunaan data, berita palsu, distorsi informasi dan lain sebagainya.
Di sisi lain, perkembangan teknologi internet seperti algoritma memungkinkan memisahkan ruang-ruang menjadi lebih eksklusif. Internet menjadi sebuah solusi sementara untuk menghindari pengawasan dan sensor yang dilakukan otoritas negara, maupun peretasan dan sensor sipil, meski tidak bisa dikatakan bebas politis sepenuhnya. Otomatis, algoritma menjadi hal dasar bagi pembentukan berbagai aktivitas harian secara umum dan konsumsi informasi. Fenomena tersebut bisa kita lihat pada pemilihan berita, konsumsi musik, dan video melalui sistem pemberi rekomendasi melalui mesin pencari (di internet). Pada dasarnya, pencarian tersebut ditentukan oleh penetapan otomatis yang relevan dengan informasi pada pilihan kita sebelumnya. Seleksi algoritma membentuk konstruksi realitas individu, yaitu kesadaran individu yang berdampak pada sosial-politik-budaya masyarakat dalam kesadaran kolektif. Hal ini menjadikan algoritma sebagai faktor yang sangat strategis dalam masyarakat informasi dan tidak hanya memengaruhi apa yang kita pikirkan, tetapi juga cara kita melihat dan bertindak.
Lebih lanjut, algoritma berkontribusi pada konstruksi realitas dalam masyarakat informasi, ditandai dengan pemilihan atau penghilangan informasi. Hasilnya, realitas yang dibentuk secara algoritma kembali mengatur berbagai pilihan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, realitas yang dibentuk oleh pilihan algoritma otomatis menentukan koordinasi dan kerja sama individu di dalam dan di luar internet, membentuk sebuah tatanan sosial baru. Hal ini menunjukan bahwa konstelasi dan kontestasi dalam ruang virtual seperti internet sangat mempengaruhi realitas kehidupan sosial, politik dan kebudayaan. Namun tak pelak, konstruksi realitas yang terbentuk oleh seleksi algoritma di internet cenderung memperkuat fragmentasi dan meningkatkan individualisasi, privatisasi, ketidaksetaraan, dan deteritorialisasi. Fragmentasi tersebut dikhawatirkan dapat merugikan atau memperburuk sistem demokrasi kita. Oleh sebab itu, kami menyebutnya sebagai solusi sementara.
Bagaimanapun juga, internet menjadi sebuah media baru untuk memediasi dan menjadi solusi sementara atas masalah atau konflik di ruang publik yang sering menerpa kebebasan berpendapat dan berkesenian —khususnya pada isu-isu sensitif— dimenangkan kelompok berkuasa dan punya otoritas penuh seperti negara. Multimedialitas internet terbukti dapat diandalkan untuk mendukung cara-cara baru untuk mencari informasi, atau terkoneksi dengan orang lain secara sosial dan membangun politik alternatif. Hal ini salah satunya dimanfaatkan oleh seniman seperti Riyan Kresnandi pada karyanya yang bertajuk Reconnected Access Memory, di mana internet menawarkan kelompok maupun individu dengan entitas sosial berbeda, yang saling terhubung dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengekspresikan diri sesuai dengan tujuan emansipasi dan demokrasi.
Politik dan Keterbukaan Akses Pengetahuan
“Barang siapa yang memiliki koneksi, niscaya akan mendapat kemudahan dalam hidup”. Nukilan sabda ‘asal bunyi’, bermaksud menawarkan pertanyaan tentang: siapa yang punya akses terhadap koneksi? Atau— siapa yang sebenarnya paling diuntungkan oleh kemudahan dalam berkoneksi? Prasyarat untuk dapat terkoneksi adalah perangkat. Tidak bisa ditampik bahwa tidak semua orang memiliki perangkat. Perangkat bisa berupa apa saja; gawai, akses jaringan, kendaraan, pengetahuan, indera, hati nurani, dan hal lain yang mampu menghadirkan koneksi. Bila perangkat sudah dimiliki maka selanjutnya; untuk apa perangkat digunakan.
Sehari-hari, kini kita terus menggunakan koneksi digital. Penggunaan koneksi digital secara masif ini menciptakan terjadinya perubahan dalam berbagai lini kehidupan. Ketika warga sudah mulai meninggalkan saluran-saluran sistem dan media konvensional seperti koran atau televisi, pemerintah dan pemegang kepentingan —mayoritas merupakan pencetak narasi arus utama, turut beralih memproduksi informasi dalam bentuk digital agar mudah terakses. Maka dari itu, bisa dikatakan jagat internet sebetulnya berpotensi menjadi ruang untuk menegosiasikan ulang kuasa. Kontrol dan kuasa— meski tidak dapat mengimbangi kecepatan teknologi, tetap ada dan penuh kepentingan, sehingga dialog dan perilaku sebenarnya sama dengan apa yang berlangsung dalam masyarakat. Pilihan seolah ada pada diri pemilik koneksi, meskipun sebetulnya apa yang kita pilih, tak lepas dari arahan dan ‘pengontrol kuasa’ informasi.
Penggunaan multimedialitas internet memberikan angin segar bagi mereka yang terpinggirkan oleh narasi dominan. Hal ini juga menjadi sebuah dorongan bagi mereka yang bertujuan menegakkan emansipasi dan demokrasi dalam kesetaraan berpendapat dan berkarya seni. Sebagai contoh dalam karya Arief Budiman yang menyoroti media-media bodong di internet tatkala mencari tahu berbagai permasalahan sosial, politik dan budaya di Papua. Permasalahannya, informasi begitu banyak hingga tidak tahu apa yang benar-benar terjadi di sana, hari ini, kemarin, atau di masa lalu. Meskipun di internet terdapat banyak narasi alternatif menyoal isu sosial, politik dan budaya di Papua, gaungnya dengan mudah tertelan narasi dominan yang dikonstruksi oleh kuasa (negara).
Informasi yang ada di internet tersebar dalam berbagai pelatar/platform; yang mana di setiap platform memiliki kekhasan tersendiri, bak sebuah wilayah teritori. Kita bisa jadi adalah seorang warga yang tinggal, menetap, menguasai seluk beluk platform, sekedar menjadi turis, atau menjadi seseorang yang sedang tersesat dalam petualangan berselancar mencari informasi. Seperti Sandi Jaya yang secara sadar menaruh foto dokumentasi personalnya dalam platform digital Google Earth, yang lazim digunakan untuk “menjelajah citra” dari berbagai wilayah di seluruh penjuru negeri, juga sebagai ruang berbagi referensi-referensi tempat yang dapat diakses oleh publik. Menaruh foto personal pada Google Earth dapat dimaknai sebagai optimalisasi platform untuk pengarsipan pribadi cara baru, atau menjadi siasat mengintervensi kuasa dalam sistem informasi digital.
Selain persoalan tentang bagaimana internet menjadi ruang bersiasat dengan kuasa, keterbukaan akses terhadap pengetahuan juga bisa dimaknai sebagai proses demokratisasi. Dalam hal ini, kami merefleksikan karya Bodhi IA bertajuk “Demonstrasi Langit” yang mencoba mentransformasi tuntutan warga dalam pelbagai demonstrasi yang belakangan terjadi, mewujud layangan sawangan— biasanya banyak dijumpai di Blora, merupakan medium mengusir hama burung yang mengeluarkan suara bising yang menganalogikan peringatan“tanda bahaya” atas problematisnya proses demokrasi di Indonesia. Layangan sawangan berusaha menciptakan ruang dialog bagi suara politik warga, menyebarkannya dalam bentuk narasi pengetahuan alternatif berupa layang-layang.
Memeriksa Ulang Koneksi antara Manusia dan Nonmanusia
Koneksi yang terinterupsi tidak hanya terjadi di antara hubungan-hubungan di antara manusia, tetapi juga antara manusia dengan nonmanusia —seperti Tuhan, Alam, dan subjek lainnya— yang berpengaruh dan berkaitan dalam perkembangan budaya secara umum. Pun, kami jadi teringat pernyataan Tim Ingold (2016) dalam Against Human yang menyatakan bahwa selama ini, manusia (dan kebudayaan mereka), nampaknya kurang (atau gagal) membangun konektivitas dengan faktor nonmanusia (alam). Ego membuat manusia merasa merasa superior atau menjadi sosok yang “lebih baik” dari organisme lainnya. Padahal sesungguhnya, manusia hanya merupakan bagian kecil organisme di alam raya.
Menilik karya Lintang Radittya bertajuk Java’s Apparatus, hubungan-hubungan tersebut dalam religi masyarakat Jawa tidak terlepas dari Jagad Raya yang terdiri dari Jagad Gede (makrokosmos – alam di luar manusia) dan Jagad Cilik (mikrokosmos – alam manusia), di mana hubungan satu kesatuan yang serasi dan harmonis ini harus senantiasa dijaga. Hal tersebut dalam masyarakat Jawa menyatu dalam suatu tempat yang disebut rumah. Masyarakat Jawa sering menyebut rumah sebagai omah, “Om” yang berarti Bapa Angkasa (laki laki) dan “Mah” atau Lemah yang berarti Ibu Bumi (perempuan). Dari istilah ini kemudian lahir kata omah yang merupakan representasi dari hubungan langit dan bumi yang saling melengkapi. Dibangun dengan banyak hal dan disematkan sebagai pencipta keselamatan —agar terasa pomah— yang membuat penghuni rumah betah menempati rumahnya.
Sedangkan dalam karya Benggala Project bertajuk Keselamatan, Wajah Semua Kerinduan, titik baliknya adalah bagaimana membuat keseimbangan Jagad Raya tetap (dan akan) stabil. Dengan mengapropriasi tradisi Ruwatan, Benggala mencoba memeriksa ulang keterhubungan tersebut dan menunjukan bahwa nafas tradisi tidak harus ditinggalkan, seperti nilai-nilai spiritual Jawa-Islam— untuk meresapi dalam ruang jeda, memikirkan ulang, dan menyadarkan kita kembali. Melalui kontekstualisasi yang dilakukan Benggala menunjukan bagaimana leluhur orang Jawa-Islam menghadapi bencana atau wabah (COVID-19) dengan bijaksana, dengan mengkoneksikan ulang hubungan antara rakyat dengan pemerintah, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan terjalin dengan baik kembali dan membawa kita pada keseimbangan hidup.
Lebih lanjut, keterkaitan paradoksal antara hubungan manusia dengan alam, terutama di era antroposen —era yang membuat manusia berada dalam posisi superior untuk menentukan masa depan ekologis bumi— membuat keduanya dibenturkan untuk hidup beriringan di masa pandemi COVID-19. Beberapa rumah tangga berusaha menerapkan prinsip kelestarian (sustainability) sebagai salah satu langkah resiliensi, namun disisi lain limbah menjadi tidak terhindarkan karena manusia wajib melakukan transaksi dengan dunia luar sesuai protokol kesehatan.
Sebelumnya prinsip reduce, reuse dan recycle hanya menjadi sosialisasi tanpa praktek. Situasi pandemi menghentikan sebagian ketergantungan kita terhadap kolektor limbah, hal tersebut mempengaruhi kesadaran manusia terhadap sampah yang dihasilkan. Bukan tanpa tantangan, manusia juga sesekali terjebak dalam lingkaran greenwashing yang marak di pasaran. Greenwashing sangat marak terjadi beberapa tahun terakhir di Indonesia, fenomena ini kebanyakan adalah keinginan memperluas pasar (marketing extension) yang tidak bertanggung jawab dari perusahaan yang mengaku menyediakan produk eco-friendly.
Sampah yang dihasilkan di rumah belum termasuk sampah dari dukungan terhadap pelaku greenwashing. Meskipun dapat memberikan rasa aman terhadap konsumen peduli lingkungan, tetapi selama ini tidak pernah ada transparansi tentang pengolahan limbah produksinya. Melihat fenomena ini Dyah Retno bertindak sebagai saintis sekaligus seniman merespon dengan membuat keramik dari olahan limbah pabrik keramik yang tercemar. Masifnya limbah keramik yang berakhir terbengkalai di tanah kosong dalam waktu lama akan mencemarkan kandungan kimia (pada glasir) ke tanah dan air di sekitarnya.
Selain itu, gaya hidup masyarakat modern Indonesia sudah terlanjur sangat terbiasa dengan penggunaan material tak terurai dalam jumlah masif. Tidak hanya pada kegiatan yang bersifat transaksional, tetapi juga terjadi pada penyelenggaraan acara oleh berbagai institusi. Mutia Bunga berusaha merespon untuk berusaha membangun kesadaran penuh seluruh lapisan masyarakat tentang isu tersebut. Jika masyarakat Indonesia bisa kembali membudayakan penggunaan material ramah lingkungan berdasarkan pengetahuan lokal, harapan tentang masa depan kehidupan di bumi bisa menjadi antisipasi positif.
Menilik dari karya Dyah Retno dan Mutia Bunga, dapat dilihat bahwa ilmu seni dan sains saling melengkapi dalam menunjang kesadaran manusia terhadap sebuah fakta. Menurut Foucault, seni dan sains berjalan beriringan dalam menyajikan kebenaran lewat caranya masing-masing. Carlson (2005:93) juga menyebutkan bahwa sains dapat meningkatkan apresiasi manusia terhadap alam dengan memperlihatkan kualitas estetisnya —seperti prinsip seni— dalam setiap penemuannya. Seni dan sains dibenturkan dan dikawinkan untuk mencapai misi yang sama, yaitu produksi pengetahuan berbasis dialog. Keduanya menawarkan solusi untuk permasalahan yang dialami manusia, namun seluruh tindakan yang diambil tetap sesuai tingkat kesadaran masing-masing.
Selain itu, ada Mira Rizki mempertanyakan hubungan antara manusia dengan alam melalui proses merekam ekologi bunyi yang dimediasi oleh teknologi virtual. Selain membicarakan terjadinya ketidaksetaraan aksesibilitas terhadap perangkat teknologi, Mira Rizki juga menangkap refleksi tentang bagaimana kita memaknai ekosistem bebunyian alam (dalam hal ini diwakili oleh ekologi kota) paska terjadi proses “pencerabutan” bunyi tersebut dari lanskap ruang fisik perkotaan. Ruang putih (whitepage) pun berkemungkinan menciptakan distorsi akan pengalaman inderawi mencecap bebunyian ‘alam’ yang artifisial.
Identitas dan Seksualitas: Suara yang Terdistorsi
Koneksi-koneksi manusia dibentuk dari keberadaan identitas. Identitas menciptakan beragam pemaknaan atas (jati) diri manusia, tetapi sekaligus berpotensi menegaskan suatu bentuk perbedaan. Selain itu, identitas bukanlah sesuatu hal yang terberi— ia tak tumbuh begitu saja sebagai bentuk karakter manusia. Pun, identitas bukanlah wujud dari apa yang sudah ada, melainkan suatu hal yang dibentuk, dikonstruksi, terinstitusionalisasi, hingga mengalami normalisasi. Melalui identitas, manusia berkemungkinan mengidentifikasi perbedaan-perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya, baik yang paling kentara: identitas fisik (ras, jenis kelamin), hingga identitas yang bersifat tak nampak (intangible), seperti identitas sosial, politik, budaya, kelas sosial— yang mana seluruhnya berusaha mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang muncul antara satu orang dengan orang lainnya. Pun, menyoal tentang identitas tak pernah jauh-jauh dari relasi kuasa: di mana yang memiliki identitas mayoritas lah yang biasanya akan menang. Mengkritisi identitas berarti menguak suara-suara manusia yang terdistorsi— atau tengah ditimpa oleh mereka yang berkuasa.
Dalam hal ini, kami melihat bahwa identitas menjelma suatu konsep paradoks. Ia bisa muncul sebagai suatu bentuk penghargaan terhadap adanya perbedaan-perbedaan manusia, atau sebaliknya: dirujuk sebagai faktor pembeda yang kemudian berisiko memunculkan pemisahan di antara hubungan-hubungan antar manusia. Maka dari itu, identitas tentu tidak tumbuh sebagai suatu konsep yang terberi; atau sebagai bagian dari karakter manusia yang muncul sejak manusia masih jadi orok. Alih-alih, identitas jelas tumbuh sebagai suatu hal yang dibentuk dan dikonstruksi.
Mengkritisi identitas berarti memeriksa ulang konsep tentang bagaimana ego manusia dimainkan melalui konsep identitas. Dalam hal ini, identitas adalah pisau bermata dua— serupa dengan koneksi (yang tak lepas dari keberadaan interupsi)— di mana identitas dapat dimaknai sebagai upaya konsolidasi dan menghargai bentuk-bentuk perbedaan. Sementara di sisi yang lainnya, menciptakan garis tegas pembeda antara (kelompok) manusia yang menjadi pintu masuk bagi terjadinya berbagai gesekan dan konflik.
Identitas juga dapat ditarik dalam berbagai rupa sudut pandang— salah satu yang muncul dalam pameran ini yakni persoalan tentang tubuh dan seksualitas. Dalam hal ini tubuh dan seksualitas menjelma pembeda yang kentara (visible), misalnya menyoal identitas fisik rasial (yang mendorong terjadinya rasisme) atau identitas seksual (berimplikasi terhadap peminggiran ekspresi gender dan seksualitas tertentu). Permasalahan mengenai identitas, berhubungan dengan tubuh dan seksualitas bermunculan di sekitar kita, misalnya tentang bagaimana identitas gender seksualitas seringkali dipermasalahkan: homoseksualitas, hingga seksualitas perempuan yang acap kali (atau selalu) dianggap tabu dan tak layak diperbincangkan secara publik. Contohnya diangkat dalam karya Barut Neraka, di mana Laviaminora mencoba mengungkap bagaimana kekerasan seksual menjadi permasalahan yang sulit terbongkar, malahan penyintas kekerasan seksual kerap kali dibungkam dan dirundung publik. Ia melihat bagaimana berbagai kasus kekerasan seksual menjelma suara-suara yang lesap, bahkan dibiaskan, dibelokkan dan diabaikan.
Referensi:
Carlson, A. (2005). Aesthetic and The Environment: The Appreciation of Nature, Art and Architecture. Routledge:USA & Canada
Hampton, K. N., Sessions, L. F., & Her, E. J. (2011). Core networks, social isolation, and new media: How Internet and mobile phone use is related to network size and diversity. Information, Communication & Society, 14(1), 130-155.
Just, N., & Latzer, M. (2017). Governance by algorithms: reality construction by algorithmic selection on the Internet. Media, culture & society, 39(2), 238-258.
Kahn, R., & Kellner, D. (2004). New media and internet activism: from the ‘Battle of Seattle’to blogging. New media & society, 6(1), 87-95.
- Gontier et al. (eds.). 2006. Evolutionary Epistemology, Language and Culture, 259–281. Netherlands: Springer.