Karya: Lintang Raditya
Penulis: Alia Swastika
Rumah dalam Budaya Jawa sering disebut omah, “Om” yang berarti Bapa Angkasa (laki laki) dan “Mah” atau “Lemah” yang berarti Ibu Bumi (wanita). Dari istilah ini kemudian lahir kata omah yang merupakan representasi dari hubungan langit dan bumi yang saling melengkapi. Rumah juga disebut sebagai “nDalem” yang bermakna hakikat diri.
Sebagai tempat berlindung, rumah didesign dan di bangun sebaik mungkin agar maksimal menaungi serta melindungi penghuninya. Bagi sebagian masyarakat yang masih memegang tradisi lama, dalam hal ini Jawa, membangun hunian yang baik tidak hanya dititik beratkan saja pada ranah fisik, tetapi juga melingkupi ranah metafisik.
Konsep “mitigasi spiritual” menjadi ritus yang tidak ditawar untuk dilakukan. Hidup bersanding dengan dunia non fisik, membuat rasa aman harus diwujudkan secara menyeluruh, hingga ke wilayah spiritual. Berjaga atas gangguan non-fisik dan hal hal buruk, dimanifestasikan dalam perangkat tradisi seperti memasang mori (kafan yang sudah diberi rajah, beserta benda lainya ) di Molo (atap), menanam kendi di pusat rumah, hingga benda benda sakral lainya di areal seputar rumah.
Rumah merupakan tempat menyatunya jagad- cilik (micro-cosmos) yaitu manusia dengan jagad-gede (macro-cosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi orang Jawa rumah tinggal merupakan poros dunia (axis-mundi). Sebagai sebuah poros yang hidup dan menghidupi penghuninya. Dibangun dengan banyak hal yang disematkan sebagai pencipta keselamatan, agar terasa “Pomah” , penghuni rumah betah menempati rumahnya.
Dalam tiga rumah kecil yang digantung oleh Lintang, kita menemukan teks berjalan yang merupakan wujud caraka walik, sebuah cara membaca aksara Jawa yang di balik, yang menurut kepercayaan telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ada kepercayaan bahwa caraka walik merupakan mantra atau bacaan yang paling kuat. Jadi konsep hanacaraka itu sejatinya konsep manusia paling dasar (sangkan paraning dumadi). Konsep rumah yang dimunculkan Lintang melihat filosofi mendasar dalam budaya Jawa: bapa kuasa ibu bumi. Rumah ada sebuah manifestasi dari manusia yang “mengada”. Kare itu, rumah di Jawa juga disebut dalem/ndalem yang maknanya adalah kita sebagai manusia. Di atas rumah, Lintang memasang pengeras suara yang menggaungkan mantra Jawa untuk memohon keselamatan yaitu Papat kiblat lima pancer dan rumeksa ing wengi/mantra wedha dari Sunan Kalijaga.
Karya Lintang menjadi menarik karena adanya jukstaposisi dari simbol dan filosofi Jawa yang sangat lokal, dengan pemunculan bentuk atau metafor visual yang minimal dan lebih berbasis pada media baru, melalui suara dan permainan teknologi D-I-Y. Ada transformasi bentuk dari filsafat berbasis tradisi menuju medium yang lebih modern, yang kemudian bisa dibaca sebagai sebuah cara menyandingkan yang lokal dan yang global, atau yang tampak dan yang tidak tampak.