Karya: Benggala Project
Penulis: Anam Khoirul
Membaca Benggala Project adalah membaca bagaimana posisi seniman dalam membaca dan menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkungan sosial-budaya di masyarakat. Proyek seni yang dibentuk oleh Adnan Aditya, Awalludin M, dan Rachmad Afandi ini dimulai awal tahun 2020 ini, berbasis seni kolaboratif dan interdisipliner yang fokus pada eksplorasi seni tradisi. Dengan membaca dan memaknai ulang seni tradisi, Benggala Project ingin menghadirkan kembali seni tradisi —yang sering dipandang tidak relevan dan terlupakan oleh perkembangan zaman— dengan media kontemporer secara aktual dan kontekstual.
Pada pameran Asana Bina Seni kali ini, teman-teman Benggala Project menghadirkan karya berjudul Keselamatan, Wajah Semua Kerinduan, di mana karya tersebut terdiri dari karya instalasi dan karya seni performativitas. Proyek yang bekerjasama dengan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) ini dilatarbelakangi pandemi atau epidemi global COVID-19, yang menginfeksi secara cepat di seluruh dunia. Semua orang mengambil perannya masing-masing untuk berupaya mengatasi wabah penyakit ini bersama, sudah banyak berbagai cara yang dilakukan dari perseorangan, komunitas, hingga pemerintah, antara lain; membatasi pergerakan sosial skala besar dengan melakukan lockdown, menerapkan kembali hidup bersih, dan upaya menciptakan vaksin untuk mengatasi virus tersebut. Selain upaya-upaya —untuk menangani yang dalam istilah Jawanya disebut pagebluk— seperti dalam bidang kesehatan dan kebijakan yang dilakukan pemerintah, dalam bidang kebudayaan (tradisi adat-religi) juga ikut andil dalam menyikapi masalah ini, dilihat dari sejarah kita. Hal demikian disebut oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan istilah jalan perenungan kebudayaan sebagai akar hening, di mana seniman dan budayawan terlibat dalam penanganan sesuai kapasitas dan kemampuan di bidangnya.
Pengamatan yang dilakukan oleh Benggala Project beranjak dari seni sebagai media untuk berefleksi, melihat ulang sejarah, dan mengacu tradisi sebagai pijakan untuk menyikapi masalah (dalam hal ini wabah), di mana seni atau kebudayaan sebagai cermin kehidupan sosial. Karya-karya artistik menjadi produk atau fenomena dari hubungan-hubungan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan non-manusia —seperti Tuhan, Alam, dan subjek lainya— yang dianggap penting dalam mempengaruhi dan berkaitan dalam perkembangan budaya secara umum. Hubungan-hubungan tersebut, dalam religi masyarakat Jawa tidak terlepas dari Jagad raya yang terdiri dari jagad gede (makrokosmos – alam di luar manusia) dan jagad cilik (mikrokosmos – alam manusia), di mana hubungan satu kesatuan yang serasi dan harmonis ini harus senantiasa dijaga.
Karya ini sendiri dapat disebut sebagai “apropriasi” seni atau budaya dari tradisi Jawa-Islam yaitu ritual ruwatan, di mana penggunaan objek tradisi ini disengaja untuk konteks baru atau bisa disebut “rekontekstualisasi”. Kontekstualisasi ulang membantu Benggala untuk melihat, mengamati, memaknai, mengomentari, dan mengkoneksikan kembali makna keaslian objek yang dulu dengan penonton sekarang. Tradisi ruwatan sendiri dipilih berdasarkan tradisi masyarakat Jawa-Islam dalam usaha menyeimbangkan disharmoni jagad raya (jagad cilik dan jagad gede) tadi, di mana manusia oleh suatu sebab terkena bencana (dalam hal ini wabah atau pagebluk), maka ia harus diruwat (dibersihkan atau dibebaskan) dari malapetaka.
Seni performativitas ritual ruwatan ini, tidak terlepas dari aspek mantra sastrawi atau doa —dalam istilah Jawa disebut kidung— yang akan dibaca dan bertujuan memanggil empat dzat atau unsur yang terdapat di alam, yaitu api, air, angin, dan tanah (Sedulur Papat Limo Pancer). Selain itu, aspek atau instalasi yang memanifestasikan rasa syukur (selametan) dan permohonan kepada Tuhan juga harus ada, antara lain; sesajen (tumpengan), pembakaran kemenyan dan bunyi gamelan. Benggala juga mengapropriasi kirab pusaka Kiai Tunggung Wulung dan Kiai Slamet dalam ritual ruwatan ini. Semua ini merupakan sarana sakral yang memungkinkan mendatangkan daya magis, dalam mengkoneksikan hubungan manusia dan nonmanusia (the others) —dalam istilah Jawa hubungan jagad cilik dan gede— terhubung dengan baik dan seimbang.
Benggala mengajak kita meresapi dalam ruang jeda, untuk memikirkan ulang dengan tenang bagaimana leluhur orang Jawa-Islam menghadapi masalah atau bencana dengan arif dan bijaksana. Di mana tergambarkan dari sebuah tradisi masyarakat Jawa-Islam, yang sudah kita bahas di atas sebagai perenungan kebudayaan sebagai akar hening. Hal-hal yang menarik lain dalam karya ini adalah bagaimana Benggala mengapropriasi, dan menunjukan bahwa nafas tradisi tidak harus ditinggalkan, seperti nilai-nilai spiritual Jawa-Islam yang termanifestasi pada sub-karya pusaka panji “Ki Selametan”, tumpeng “Ki Ageng Kopid”, kidung “Wajah semua Kerinduan”. Kontekstualisasi yang dilakukan Benggala melalui karya ini menyadarkan kita kembali, bagaimana konektivitas antara rakyat dengan pemerintah, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan terjalin dengan baik. Dengan demikian membawa kita pada keseimbangan yang menghasilkan ketahanan pangan, kesehatan, keamanan, kesejahteraan dan ketenangan jiwa.