Karya: Dyah Retno
Penulis: Putri R.A.E Harbie
Physis dalam filosofi Yunani berarti nature, berlawanan dengan nomos atau buatan manusia. Setelah berabad tahun, nomos menjadi sangat dominan karena manusia selalu terobsesi dengan kesempurnaan dan pengakuan. Di periode antroposen, manusia menjadi penentu utama dalam mengontrol jumlah jejak karbon di bumi. Namun tidak jarang benda buatan manusia untuk mempermudah sebuah alur kerja, berakhir sebagai limbah pencemar setelah daya gunanya habis.
Keramik menjadi industri yang dianggap ramah lingkungan karena daya pakai ulangnya cukup panjang, namun jika ditelusuri industri ini rawan melakukan greenwashing. Hasil produksi pabrik melewati standarisasi tertentu, kemudian menyebabkan produk cacat menjadi limbah yang dihancurkan namun tidak didaur ulang. Limbahnya berakhir di lahan kosong dan glasir pada permukaannya menjadi berbahaya jika terlarut dalam air tanah. Sangat penting bagi para konsumen dengan kesadaran lingkungan untuk lebih kritis pada pertanggungjawaban industri pengguna label pemasaran eco-friendly tersebut.
Tanah dan air yang tercemar dari limbah kimia -biasanya pada bahan glasir keramik- mungkin belum dianggap mengganggu bagi masyarakat sekitar, namun jika diteliti tanah dan air di bumi sudah berada pada tingkat tidak sehat. Dampak jangka panjang dari pencemaran ini akan berdampak pada tanaman pangan yang mengandung polutan dan menjadi konsumsi manusia serta hewan.
Fenomena mengerikan ini menggerakan Dyah Retno untuk mengolah limbah keramik untuk dapat dimanfaatkan kembali sebagai media keramik baru serta media tanam.
Pendekatan yang digunakan bisa disebut perkawinan antara kerja sains dan kesenian. Seni dan sains notabene saling beririsan menawarkan kebenaran dengan cara berbeda. Praktik kesenian kontemporer tidak sepenuhnya jauh dari sains, karena hampir seluruh media yang digunakan membutuhkan perhitungan, kombinasi dan reaksi yang tepat untuk menciptakan estetika tertentu. Proses Dyah untuk menemukan formulasi yang tepat lewat riset di laboratorium, mencoba campuran yang beragam, hingga berhasil menemukan bahan olahan limbah yang ideal, memperlihatkan bahwa seniman juga berfungsi sebagai saintis untuk menjawab keingintahuannya akan posibilitas tak terhingga.
Riset panjang yang dimulai dari tahun 2016 ini, sudah mengalami banyak percobaan hingga berhasil dijadikan media keramik dan media tanam dengan formulasi tepat. Tantangan terbesar dalam pengolahan ini adalah memisahkan banyak kotoran dan senyawa kimia dalam limbah. Kemudian untuk media tanam, tingkat keasaman yang lebih stabil serta porositas menjadi tantangan terbesarnya. Media tanam ini tidak dapat diperlakukan sepenuhnya sama dengan media tanam pada umumnya, dan lebih cocok untuk perlakukan semi-hidroponik (akar sedikit tergenang air). Kebutuhan air yang banyak menjadi sangat penting agar akar dapat dengan mudah mencari celah dalam media tanam. Jenis tanaman yang dapat menggunakan media tanam ini belum terlalu banyak karena sifat media tanam yang cukup berbeda.
Meski dapat berjalan beriringan, pencapaian seni dan sains oleh manusia tetap ada batasnya. Dalam usaha Dyah mengolah limbah sebagai media tanam, tidak seluruh material tersebut bisa diklaim 100 persen bebas dari timbal yang sudah terlanjur mengendap dalam limbah. Sehingga tanaman makanan yang dicobakan dalam media tanam ini belum bisa disebut organik. Namun momen ini bisa menjadi pintu baru untuk melakukan kolaborasi riset dengan saintis untuk berusaha memperbaiki material tersebut. Jika riset ini dapat terus dikembangkan, limbah dapat dikelola agar daya pakainya lebih panjang dengan fungsi lain atau dikembalikan menjadi senyawa organik.
Tantangan yang dimiliki seniman tidak berhenti pada pengetahuan material, namun juga pada pilihan estetika untuk membagi kegelisahannya pada penontonnya. Instalasi karya “Physis” memperlihatkan perjalanan Dyah dari hulu ke hilir untuk bernegosiasi dengan limbah nomos di era antroposen, hingga menjadi karya dan media tanam. Instalasi ini memiliki potensi untuk membangun kesadaran bahwa kemampuan manusia untuk memperbaiki sama besarnya dengan kemampuan untuk mendestruksi. Manusia bisa memilih untuk menggunakan kemampuan dan keputusannya agar bisa mengembalikan sedikit kondisi alam yang lebih sehat setelah lama dieksploitasi. Alam sangat penting untuk keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di masa depan, namun urgensi untuk bertindak belum sepenuhnya hadir secara global. Seni dan sains memiliki kekuatan untuk menggerakan masyarakat, membawa fenomena faktual sebagai sorotan penting.