Karya: Ruang Gulma
Terma alternatif pada dasarnya bukanlah satu hal yang diperlukan ada. Terma tersebut hadir disebabkan oleh elitisme yang melahirkan: kanonisasi, eksklusifitas, fasisme, rasisme, white privilege, eksotisme, privatisasi kekayaan intelektual, kapitalisme pendidikan, hingga sensor pengetahuan di dunia akademik. Ketika elitism menguasai berbagai lini kehidupan, alternatif menjadi satu opsi jawaban yang diidamkan oleh masyarakat.
Ironinya, alternatif melulu disandingkan dengan anomali. Alternatif seperti sesuatu yang asing. Jika kita jabarkan lebih tepat, ia diasingkan, terasing, dianggap tak lazim dan tak jarang diberikan stigma: tabu. Yang disebut alternatif bisa saja sebuah praktik atau bentuk tradisi yang tidaklah ‘aneh’, seperti: pesantren, sekolah alam, jamu, akupuntur, yoga, wayang, meditasi dan obat- obatan rempah.
Di atas kita melihat bagaimana pengetahuan yang begitu kaya dan dipraktikkan oleh masyarakat rural dan masyarakat kelas menengah-bawah seperti tidak diakui sebagai teknologi dan pengetahuan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, disebabkan oleh kaca mata yang melulu barat adalah modern atau maju. Pengetahuan yang kita makan di bangku akademik menjadi tidak berpihak pada masyarakat yang mempraktikkan teknologi dan pengetahuan yang tidak merugikan lingkungan hidup dalam kesehariannya. Melihat hal tersebut, selanjutnya elitisme menjadikan adanya definisi: tradisional, kampungan, udik, tak layak, buruk, tak berbudaya, keterbelakangan dan lain sebagainya.
Praktik dan pengetahuan alternatif pun mengalami stigma seperti di atas, sebagaimana yang dilakukan oleh Ruang Gulma pada praktik-praktik berkolektif yang ditawarkan pada karya ini. Yakni, budaya do it yourself, seperti: zine, penerbit buku independen, workshop keahlian bersama masyarakat, solidaritas, masak bersama, dan pertunjukan musik yang dikemas dalam bentuk arsip.