A Taste of Inheritance
Seniman : Nessa Theo
400 cm x 300 cm x 200 cm
Living Room Installation, Tea on Fabric
2023
Kurator: Samuel Bonardo
A Taste of Inheritance: Secerap Rasa Liyan
Bagi Nessa, teh adalah hal yang lekat dengan keluarganya. Setiap pagi, aroma teh panas mengudara memenuhi ruang-ruang rumah. Aroma yang sama mungkin juga tercium hingga ke rumah tetangga yang berdempetan di dalam pemukiman padat penduduk di Pontianak. Teh dalam gelas enamel kembang yang diseduh sejak pagi ini akan tetap diseduh ulang seharian, bahkan sampai malam. Dari kebiasaan minum teh di rumah masa kecilnya, Nessa terbiasa dengan rasa pahit.
Ketika merantau ke Yogyakarta, Nessa baru kenal dengan istilah nasgitel (panas, legi, kentel). Oleh masyarakat Jawa di Yogyakarta, teh ideal yang khas ini kerap dikaitkan dengan kehidupan nyaman dan taraf kesejahteraan. Namun, dari pengalaman minum teh di rumah masa kecilnya, ia tahu bahwa teh tak selalu manis. Begitu juga dengan ras.
Fenotip mata sipit dan kulit putih yang Nessa warisi sering kali diasosiasikan dengan kekayaan dan kesejahteraan. Namun, dari pengalaman keluarganya, ia tahu bahwa Kecinaan tak selalu hadir dengan kesejahteraan ekonomi. Asumsi kolektif masyarakat tentang ras dan kelas begitu lekat dalam ruang lingkup kehidupan Nessa dan banyak peranakan lainnya. Pengalaman itu memberi Nessa inspirasi untuk menghadirkan kontra wacana bagi stereotip, yang celakanya, masih ia alami hingga dewasa ini menempuh pendidikan tinggi sejarah di Yogyakarta.
Kelindan ras dan kelas sosial mulai merunyam sejak kolonialis VOC menerapkan segregasi kelas antar ras kulit putih, timur asing, dan pribumi. Kegilaan yang dihasilkan dari paradigma rasis ini semakin parah ketika minoritas etnis Tionghoa di Jawa dijadikan pemungut pajak tol. Sementara kaum buruh Tionghoa di luar Jawa tidak pernah mendapat “hak istimewa” yang sama, bukan karena rasnya, melainkan karena status ekonomi mereka. Tidak berhenti di situ, sentimen klasis yang memupuk rasisme terus bergulir hingga masa awal revolusi kemerdekaan dan orde baru.
Peristiwa-peristiwa sejarah itu dilandasi dan terjadi karena pandangan generalisasi yang mencap orang Cina pasti begini, pribumi pasti begitu, warisan kolonialisme. Cara pandang kolonial yang selalu terkait dengan persepsi superior-inferior terus memupuk pandangan rasisme laten dalam setiap kita sampai saat ini. Hingga alam bawah sadar kita mungkin berpikir bahwa etnis Tionghoa pasti tidak mau makan di pinggir jalan, seperti praduga beberapa teman Nessa ketika awal berkenalan.
Alih-alih membawa isu kelas, rasisme, dan sejarah ke meja diskusi formal yang angkuh, Nessa mengerahkan daya estetika untuk membawa diskusi ini ke atas meja dalam ruang pameran. Melalui karyanya, diskusi tentang isu ini tidak hanya berjalan di dalam pikiran yang abstrak, namun justru menubuh lewat berbagai stimulus indera. Di atas meja, Nessa menyajikan teh khas keluarga, beberapa lukisan sebagai rekaman cerita keluarga, serta suara wawancara dengan Mama dalam Bahasa Indonesia dan Tio Ciu.
Lahir dan menjadi bagian dari satu keluarga peranakan Tionghoa di Pontianak tidak pernah jadi bagian dari otoritas Nessa. Tidak dapat dipungkiri, identitas keluarga ini berpengaruh besar terhadap pengalaman dan sudut pandang Nessa. Salah satunya adalah terbiasa dengan rasa yang pahit dan aroma nostagis dari teh murahan yang punya lebih banyak ranting alih-alih daun. Teh pahit yang akrab dengan keluarga Nessa ini sengaja disajikan untuk menantang konstruksi nasgitel khas Yogyakarta.
Teh yang sama pula yang dulu menemani Nessa menyimak cerita Mama. Cerita keluarga yang dialami Mama dilukiskan ulang oleh Nessa di atas kain dengan tinta dari teh. Selain mencitrakan persepsinya tentang cerita keluarga, gambar-gambar ini sekaligus sebagai anomali menantang kecenderungan penggunaan arsip atau rekaman fotografi yang semakin marak belakangan. Pada masa kecil orang tua kami, fotografi tidak lazim diakses oleh orang-orang miskin. Termasuk oleh ibunda Nessa, anak seorang buruh yang dikeluarkan dari SMP khusus Tionghoa, sedangkan sepupunya yang anak seorang pedagang bisa lanjut sekolah di sana. Selain itu, masih banyak cerita pahit dari Mama dan keluarganya dicitrakan ulang oleh Nessa melalui lukisan dan disajikan lewat rekaman suara wawancara.
A Taste of Inheritance berusaha menghadirkan pengalaman untuk menyesap, menghidu, mendengar, melihat, dan merasakan pengalaman liyan. Liyan yang menjadi korban ketimpangan kelas dalam komunitas etnisnya, sekaligus korban rasisme dalam masyarakat ekonomi tempatnya. Selain itu, instalasi ini juga menjadi representasi bagi orang-orang Tionghoa yang tidak sesuai dengan prasangka media arus utama; yang hidup nyaman, eksklusif, pengusaha, punya toko, menimbun kekayaan, penguasa ekonomi, dll. Seperti kolonialisme, semoga karya ini bekerja mempengaruhi bawah sadar kita untuk mendekonstruksi generalisasi antara kelas sosial dan etnis untuk menantang konstruksi yang dibangun oleh kolonialisme.
Profil Seniman : Nessa Theo
Nessa Theo (2001) adalah seniman asal Pontianak dengan ketertarikan pada sejarah, gender, identitas, dan praktek dekolonisasi. Dibekali studi yang ia tempuh di Sejarah Universitas Gadjah Mada, ia menggabungkan penelusuran historis dan kerangka dekolonisasi sebagai landasan praktek artistiknya. Ia mencoba menangkap struktur kekuasaan dari apa yang sublim, melihat kompleksitas antar-subjek, dan mengurai lebih jauh dikotomi penindas-tertindas. Medium gambar, lukisan, instalasi, dan kolase arsip menjadi pilihan eksplorasi artistiknya sejauh ini.