I’m So Nervous
Seniman : Sophie Trinita
300 cm x 180 cm
Floor Installation: Tape on Concrete, Carbon on Paper
2023
Kurator: Samuel Bonardo
I’m So Nervous: Sadar Setiap Jalan Sebagai Resistensi
Pernahkan kamu menyadari reaksi tubuhmu ketika pertama kali berada di tempat baru? Apakah perutmu terasa dingin menusuk jantung hingga membuat napas menjadi lebih cepat; atau tiba-tiba tenggorokan terasa kering dan kulit kepala terasa gatal? Tentu gejala ini sangat wajar, terutama karena kita merasa tidak terbiasa atau tidak tahu harus melakukan apa. Ketika mengalami kecemasan, kita cenderung merindukan rasa aman.
Karya instalasi pertama dari Sophi adalah hasil dari kontemplasi tentang kesadaran ruang dan perasaan. Ia menempel selotip demi selotip di lantai. Pilinan selotip saling jalin membentuk peta kota dengan jalanan imajinernya. Ruang yang tercipta di antara pilinan itu mengesankan jarak dan ruang. Di saat yang sama, peta kota imajiner yang melekat dengan ruangan dan saling terhubung satu sama lainnya, mewujud gambaran sistem saraf.
I’m So Nervous mengingatkan untuk senantiasa menyadari kemelut pikiran, emosi, dan perasaan. Gambaran abstraknya melatih untuk menyelami ketidaktahuan sambil senantiasa nyaman dalam pengertian bahwa pasti ada batasan dari metodologi. Jarak dan ruang antar selotip mengesankan kemungkinan dan kesempatan. Citra rekatnya yang khusus sekaligus mengesankan jauh-dekat dan besar-kecil yang melebur dalam diri kita.
Ketidaktahuan memang lumrah, bahkan tidak melakukan apa-apa juga bukan pelanggaran. Namun, ketika kita sadar bahwa ada ketidaktahuan tentang situasi dan sensasi yang baru–tidak biasa–tentu kita punya kehendak untuk mengarahkan langkah berikutnya. Langkah untuk menjadi baru sambil memperluas kenyamanan dalam ketidaktahuan.
Refleksi tentang perjalanan dan pengetahuan itu pula yang menginspirasi Sophi, seorang mahasiswa filsafat yang tinggal di Jakarta Timur. “Hidup orang Jakarta habis di jalan,” kurang lebih begitu celetuknya ketika ditanya tentang kesan dari kehidupan Jakarta. Ia bisa yakin berkata demikian karena pengalaman tubuhnya. Ia selalu berangkat jam lima pagi untuk masuk kelas jam sepuluh masih dengan dihantui perasaan takut terlambat.
Jalan dan rute yang dilalui manusia agaknya sama seperti hal metodologi, mereka mengendalikan manusia. Benar memang bahwa dari kemapanan jalan arteri maka subur pula jalanan kecil di sekitarnya. Namun jalan-jalan kecil yang saling jalin juga mampu jadi alternatif yang lebih efisien untuk mencapai tujuan. Seperti halnya kebenaran yang ada di mana-mana dan dekat dengan kita, namun metodologi yang angkuh terbukti semakin memisahkan realitas dari kehidupan.
Sophi terinspirasi dari momen ketika pergi bersama-sama dengan teman kuliah ke sebuah tempat. Mereka berangkat dalam satu mobil menggunakan petunjuk Google Maps. Sesampainya di sana, baru disadari bahwa ternyata tempat yang dituju berada di arah jalan pulang yang selalu dilewati si empunya sekaligus pengemudi mobil yang menggunakan Google Maps. Rute dari rumah ke kampus yang seharusnya dikenali setelah dilalui selama dua tahun–mungkin lebih, nyatanya tersilap oleh citraan satelit dari ruang angkasa. Peta digital yang awalnya dibuat sebagai alat untuk memudahkan kita, tidak dapat dipungkiri, kini telah menggantikan realitas itu sendiri.
Sophi merasa cemas ketika menyadari betapa komunitasnya, GenZ metropolitan, seolah tercerabut dari realitas jalan dan lingkungan yang seharusnya menubuh. Muncul gambaran tubuh-tubuh manusia yang hanyut dalam riuh gelombang suara bising jalanan utama di siang hari; serta silap mata orang-orang oleh kilau lampu jalan arteri di malam hari. Kecemasan ini mengusik pikirannya tentang jalanan yang lebih kecil: jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Di samping keberadaannya yang nyata dan semarak bagi penghuninya, jalan-jalan kecil di metropolitan hari ini semakin dianggap liyan.
Kebiasaan untuk menyebut jalan alternatif, jalan tikus, dan jalan tembus dengan paradigma bahwa kebenaran adalah jalan arteri, seolah memisahkan apa yang sebenarnya sama. Pemisahan seperti ini membuat jalanan dan ruang di metropolitan yang sebenarnya begitu luas menjadi sangat sempit. Persepsi semacam ini juga yang justru memisahkan perjalanan dan ruang dari esensinya.
Perjalanan dan ruang seharusnya secara esensial menjadi sumber rasa aman. Rasa aman karena bertemu yang didamba, rasa aman karena mendapat yang dicari, rasa aman karena sadar dan terbiasa dengan ruang. Namun, seringkali kita dikelabui oleh jarak yang diciptakan tujuan. Kita lupa bahwa di sini dan saat ini, kita aman. Lihat jalanan di sekitarmu, di sana ada banyak pilihan. Jangan tertipu oleh tujuan.
Profil Seniman : Sophie Trinita
Tiara Sophie Trinita (2002) yang akrab dipanggil Sophie merupakan perupa kelahiran Jakarta yang tengah menempuh pendidikan Filsafat di Universitas Indonesia. Sophie menekuni seni lukis dan saat ini mengeksplor lebih lanjut seni media campuran dalam karirnya. Dalam kekaryaannya, Sophie tertarik mengulas terkait kehidupan sehari-hari dan refleksi terhadap lingkungan perkotaan yang telah ia hidupi sejak kecil. Karyanya, ‘Kabut Refleksi’ pernah dipamerkan pada pameran UOB Painting of The Year 2018 ‘Natura Hominis’ dan mempublikasi mandiri Zine ‘2020’ pada tahun 2021.