Gur-Gur’e Gumok
Seniman Kolektif : Sudut Kalisat
437,8 cm x 419 cm
Multimedia, Volcanic Sand, Slate Rock, dan Wood
2023
Kurator: Ardhias Nauvaly
Gur-Gur’e Gumok
Dunia saat ini berjalan persis seperti jalanan yang, agar lancar, harus ada selokan—tempat membuang hajat. Di dunia ini, selokan itu bernama negara pascakolonial. Kadang, artinya literal seperti jadi buangan limbah. Lebih jamak, modusnya adalah menjadikan negara-negara ini situs lakon kotor seperti industri bahan mentah. Tepat pada situasi macam ini, Sudut Kalisat menuturkan kisahnya.
Alkisah, Jember, yang juga meliputi Kalisat tempat kolektif ini makarya, dikenal sebagai “Kota Seribu Gumok”. Gumok ini adalah formasi geologis berupa bukit berbatu yang terbentuk dari letusan Gunung Raung Purba ribuan tahun lalu. Fungsinya macam-macam, mulai dari tandon air hingga penjaga suhu. Namun, di mata industri ekstraktif, alam ada untuk disedot dan dijual. Jadilah seribu gumok itu berkurang satu-satu.
Ada permintaan, ada penawaran. Permintaan itu datang dari Jepang; selama 25 tahun terakhir, negara itu jadi tujuan utama ekspor batu piring dari Indonesia. Jember kemudian jadi situs favorit sebab karakter batu piringnya cocok dengan permintaan pasar Jepang.
“Tapi kami bukan menyalahkan para penambang,” kata Wildan, awak Sudut Kalisat. Maka tepat belaka pilihan ideologis kolektif ini untuk mengurai benang kusut dari pangkal. Lewat karya “Gur-Gur’e Gumok“, Sudut Kalisat tidak membayangkannya semata partai karikatural antara penambang dan aktivis lingkungan. Lebih jauh, mereka hendak membuat sesuatu yang besar dan kerap tak terjamah, jadi bisa diindera.
Adalah Zen Garden, taman kering khas Jepang yang terdiri dari batu dan pasir, yang jadi lanskap visual utamanya. Sudut Kalisat hendak menjadikannya ledekan terhadap Jepang bahwa negaranya bisa memenuhi hasrat estetika dan lakon kontemplatif, yang tercermin di Zen Garden, hanya jika kebutuhan tambangnya disalurkan pada negara dunia ketiga seperti Indonesia.
Jepang memang punya tambang batu piring, namun tidak signifikan. Neraca dagangnya menunjukkan itu: valuasi impor batu piring 12 kali lipat dari ekspornya. Seperti yang dikatakan importir batu piring dari Jepang, “Kalau kami punya uang, mengapa mesti menambang gunung kami sendiri?”
Untuk menyindir tata kelola dunia macam ini, Sudut Kalisat tidak menampilkan Zen Garden secara realis. Alih-alih, taman yang menekankan pada kesederhanaan ini dipelintir visualnya, diisi hal-hal yang mendukung cerita tentang relasi yang timpang di antara bangsa-bangsa pascakolonial. Pada titik ini, “Gur-Gur’e Gumok” adalah subversi.
Subversi atas Zen Garden dilakukan dua tingkat. Pertama, pasir yang dihamparkan berwarna hitam dari Gunung Merapi (biasanya, Zen Garden berpasir putih). Secara estetika, pilihan ini memberi kontras terhadap “kubus putih”. Secara ideologis, pasir hitam hendak menyentil tentang ketenangan (putih) yang dihasilkan dari rantai produksi yang seringkali “hitam” -merusak hidrologi dan mengancam nyawa penambang.
Kedua, benda-benda yang jadi fitur taman bukanlah batu minimalis yang zen-esque. Bukan. Demi kisah bangsa yang terpaksa menambang dan bangsa yang mencetak untung dari beli hasilnya, Zen Garden dijejali oleh artefak tambang.
Setumpuk batu piring yang terikat tali dari baju bekas (aslinya pun begini) dan alat pemecah batu jadi lanjaran bagi para penonton tentang proses produksi yang kerap luput -tentang tangan pekerja yang menambang-memecah. Di antara tali batu, tergantung label dagang sebagai kode visual tentang relasi ekspor yang terjadi. Penampilan realitas sekaligus subversi terhadapnya ini untuk membunyikan perkara apropriasi budaya: ketika benda budaya dilabeli oleh pihak yang lebih berkuasa.
Batu Zen Garden benar-benar jadi batu sindiran dalam “Gur-Gur’e Gumok”. Pada satu batu piring di tengah “taman”, dipacak miniatur Gerbang Torii yang, di budaya Jepang, jadi perlambang kesakralan. Namun, dalam konteks ungkapan satire “Gur-Gur’e Gumok”, Gerbang Torii diseret menjadi jalan masuk untuk menghayati kontradiksi yang janggal: Zen Garden yang “kacau”. Terlebih, posisinya memang tegak lurus menatap layar terkembang tentang Jember dan tambang gumok-nya.
Satu dinding ruang pamer nyaris penuh oleh proyeksi dokumenter lima menit. Durasi pendek ini terasa padat dengan mengabarkan perubahan yang berderap di Jember. Pola tuturannya dibuka dan ditutup dengan kereta yang melaju. Di antaranya adalah pergeseran moda hidup dari agraris ke industri ekstraktif batu piring.
Bukan hanya menekankan pada gambar-hidup, dokumenter ini juga serius soal bebunyian. Sudut Kalisat sadar, elemen bunyi mampu menjalar melewati papan partisi -pengunjung bisa menangkap kesan meski separuh bahkan sebelum masuk ruang pamer. Palu batu yang bertalu-talu dan terus menjalar bunyinya meski adegan sudah berganti (voice-over) sebagai kisah tambang yang nampak tidak akan usai serta instrumen musik Jepang. Bunyi terakhir adalah ensembel janggal di layar antara tambang batu dan musik Jepang yang jelas akan memutar kepala pengunjung: apa yang terjadi?
Elemen audiovisual ini jadi senjata pamungkas Sudut Kalisat untuk membawa pengunjung pada alam yang janggal—Zen Garden yang yang bising. Dengan begitu, Zen Garden subversif adalah ironi simbolik. Bahwa, di balik keindahan dan segala kedamaian yang agung, ada yang hanya dapat bising dan kerusakannya. Ada yang dapat gur-gur’e thok, ‘remahannya belaka’, yakni orang-orang Jember, orang-orang Kalisat.
Profil Seniman Kolektif : Sudut Kalisat
Sudut Kalisat merupakan sebuah komunitas yang berumah di Ruang Ingatan, kami meyakini dan menjalani proses bahwa waktu senggang adalah sumber dari kebudayaan.
Keanggotaan dari komunitas ini bersifat dinamis, dari latar belakang profesi yang beragam dan jangka usia yang bervariasi pula. Dikatakan dinamis karena keanggotaan tidak terikat dan telah memiliki regenerasi dari pertama kali Sudut Kalisat dibentuk pada tahun 2015.
Pada awalnya, pameran arsip Kalisat Tempo Doeloe (KTD) dimulai dari rasa ingin tahu tentang sejarah lokal di Kalisat. Kami mengumpulkan kisah-kisah tentang masa lalu Kalisat dengan cara mengunjungi tetangga-tetangga di sekitar desa. Tak jarang orang yang kami kunjungi akhirnya merekomendasikan orang lain untuk bisa kami temui untuk mendapat potongan kisah yang lebih lengkap. Pada saat bertamu ke rumah tetangga itulah, selain cerita, kami juga punya kesempatan untuk melongok arsip foto keluarga yang mereka miliki. Dari himpunan arsip foto keluarga yang kami kumpulkan itulah pameran arsip warga ini terwujud.
Setiap tahun, pameran Kalisat Tempo Doeloe mengangkat tema dan narasi yang berbeda-beda. Penentuan konsep dilakukan melalui diskusi di waktu kami senggang (ghângghu’) dan biasanya mengarah pada situasi terkini hal-hal yang ingin kami ketahui. Perlahan pameran ini kemudian menjadi proses belajar yang bersifat kolektif bagi remaja-remaja di Kalisat. Sebagian ilmu terapan yang kami pelajari bersama antara lain adalah kemampuan untuk merencanakan sebuah pameran, teknik pemajangan ruang pamer, berbicara di depan umum, sampai kemampuan untuk mengadakan riset lapangan. Tidak hanya bagi anak-anak muda yang terlibat di balik perencanaan pameran. Dalam perkembangannya Kalisat Tempo Doeloe juga kemudian menjadi proses kolektif yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat di Kecamatan Kalisat.
Kini Sudut Kalisat terus berupaya untuk memelihara ingatan warga sebagai sumber untuk dikembangkan menjadi produk kegiatan kesenian. Kami meyakini bahwa warga adalah mahaguru untuk menjelaskan sejarah Kalisat. Karena untuk mencintai suatu kampung halaman akan terasa dekat jika kita mengetahui pengalaman sejarahnya.