Tulisan dalam rubrik ini merupakan hasil dari program lokakarya penulis yang dilaksanakan pada tanggal 3-4 April 2024 di Joglo Mandapa, Bantul, Yogyakarta, partisipan berasal dari peserta Asana Bina Seni Biennale Jogja serta perwakilan dari Festival Film Dokumenter (FFD), Indonesian Dance Festival (IDF), ARTJOG, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Lokakarya ini menjadi wadah untuk memikirkan irisan internasionalisme seni dan wacana dekolonisasi dalam konstelasi seni global.
Sesi dibuka dengan kuliah dari Wildan Sena Utama, peneliti sejarah yang fokus pada pengaruh Konferensi Asia Afrika dalam berbagai aspek kehidupan Indonesia pasca kemerdekaan, termasuk lingkup seni dan budaya. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian 4 kelompok pembahasan : seni rupa, film, sastra dan seni pertunjukan.
Hasil Lokakarya Penulis Kolaborasi: Film
Menyusuri Jejak-jejak Internasionalisme dalam Lanskap Film Indonesia dari Yogyakarta
oleh M. Hilmi Reyhan
Walter Benjamin dalam The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility berargumen bahwa film adalah bentuk seni yang karakter artistiknya sepenuhnya ditentukan oleh kemampuan reproduksinya. Kemudahannya untuk direproduksi – lewat alih media ke dalam bentuk dvd, flashdisk, hingga semata pranala Google Drive – membuatnya menjadi populer dalam pelbagai kalangan serta relatif mudah diakses dari mana saja.
Kemudahan untuk menjangkau dan mengapresiasi film oleh khalayak umum lantas membuatnya menjadi medium yang praktis digunakan untuk memenuhi beragam agenda. Rezim Orde Baru menggunakan film sebagai media propaganda. Sutradara Yasmin Ahmad dan filmnya yang menggambarkan realitas sosial turut merekonstruksi subjektivitas orang Malaysia (lihat Changsong dan Kerry, 2022). Gerakan Sinema Ketiga yang mulanya di Amerika Latin diinisiasi guna mendorong publik agar mempunyai kesadaran politik dan kelas. Secara pragmatis pun film juga bisa pula dimaknai sebagai upaya mencari uang. Pertanyaan yang kemudian muncul ke permukaan ialah, bagaimana situasi ekosistem film di Indonesia saat ini? Secara lebih lanjut, bagaimana posisi film dalam pertautannya dengan wacana global dan pergerakan?
Konferensi Asia Afrika atau Konferensi Bandung pada 1955 dapat menjadi pijakan refleksi bagaimana posisi film saat ini ketika dibandingkan dengan periode awal perkembangannya, terkhusus di Indonesia. Satu dari sekian luaran Konferensi Bandung yang diamini oleh negara-negara yang terlibat ialah nafas Spirit Bandung – yang hadir dalam banyak lini kehidupan, tak terkecuali seni dan kebudayaan dengan film sebagai salah satu turunannya. Spirit Bandung sendiri termanifestasikan melalui beberapa kata kunci, di antaranya dekolonisasi global dan solidaritas.
Lebih dari setengah abad berlalu, kiranya wajar untuk mempertanyakan kembali relevansi Spirit Bandung saat ini. Ihwal yang masih nampak eksplisit (meski masih memerlukan telaah lebih lanjut, akan dibahas kemudian) ialah bagaimana corak solidaritas masih bisa dilacak hingga saat ini dalam jejaring komunitas film skala nasional atau internasional. Pun solidaritas sebagai gerakan juga ideologi masih bisa dibaca dalam pelaksanaan festival-festival film.
Forum Komunitas JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival), misalnya, menjadi satu dari sekian kendaraan para komunitas film lokal untuk berjejaring. Pembentukan ruang yang leluasa untuk masing-masing komunitas dan kolektif untuk saling tukar pandangan, presentasi karya, diskusi, dan interaksi-interaksi lainnya seterusnya membangun jejaring kolektif yang kokoh. Lewat ruang seperti tadi, dapat diketahui bagaimana kultur dan praktik pengkaryaan masing-masing komunitas dijalankan. Kedepannya, diproyeksikan interkoneksi antar komunitas tadi dapat menyokong ekosistem film Indonesia.
Dalam jangka panjang dapat menciptakan interkoneksi antar komunitas yang memperkokoh film Indonesia sebagai suatu ekosistem yang mapan. Ia juga menjadi proses pencatatan dan pengarsipan alur pergerakan komunitas: film apa saja yang tiap komunitas produksi? Sejauh mana alur distribusi mereka jalankan? Bagaimana proses apresiasi film dalam bentuk kritik, ulasan, dan lain sebagainya hadir? Serta pelacakan-pelacakan lain yang bermuara pada sebuah peta besar tentang jejaring komunitas film di Indonesia.
Ketika memperbesar lensa yang digunakan untuk melihat dan membaca JAFF, kita juga dapat menarik benang merah bagaimana kolaborasi JAFF dengan NETPAC juga merupakan sebuah manifestasi atas solidaritas regional Asia. NETPAC merupakan organisasi yang diinisiasi oleh Aruna Vasudev, seorang akademisi, kritikus, dan filmmaker berkebangsaan India. Keberadaan NETPAC didasari sebuah keresahan atas minimnya promosi atas film-film Asia di kancah global. Situasi demikian pun semakin tak terhindarkan ketika mempertimbangkan bagaimana hegemoni Hollywood dalam percaturan sinema global.
Adanya jejaring NETPAC dalam pelaksanaan JAFF membuatnya tertaut dalam jejaring kolektif sinema Asia. Meskipun pada dasarnya, tanpa adanya NETPAC pun JAFF cepat atau lambat tetap akan terseret dalam arus interaksi global. Sebagaimana Barker elaborasikan jika tidak ada industri film nasional yang akan terisolasi dari pengembangan dan pengaruh budaya (populer) regional dan global. Walau demikian, adanya NETPAC semakin mengamplifikasi suara sinema Indonesia yang posisinya fluktuatif dalam lanskap film internasional selepas pelaksanaan Konferensi Bandung dan Festival Film Asia-Afrika.
Festival film di Indonesia tidaklah hadir dalam ruang vakum. Ia juga tidak bisa dilepaskan dari Sejarah panjang festival film internasional, yang mulanya menjamur di Eropa selepas Perang Dunia ke-2. Ketika banyak negara di Eropa luluh lantak setelah perang usai, mereka secara perlahan kembali membangun masing-masing negara mereka melalui beragam cara. Selain Pembangunan infrastruktur dan sarana-prasarana material, identitas nasional pun berusaha ditegakkan kembali lewat beragam lajur soft power, tak terkecuali film. French New Wave (Nouvelle Vague), New German Cinema, dan Italian Neorealism merupakan sebagian dari bagaimana para pembuat film di setiap negara turut berkontribusi dalam pembentukan identitas nasional. Festival film, sebagai perpanjangan tangan para pembuat film sekaligus ruang pertemuannya dengan penonton, lantas menjadi tanah pijakan pertama proses pembentukan identitas nasional tadi. Upaya penciptaan infrastruktur spectacle, reproduksi pengetahuan dan budaya, hingga rekonstruksi nasionalisme menjadi motif yang menonjol dalam pelaksanaan festival film. Di saat yang bersamaan, para pembuat film berusaha memanfaatkan dan memperkuat jejaring transnasional lewat interaksi dengan filmmaker dari negara lain. Paradoks nasional-internasional festival film di Eropa tadi kemudian menjadi cikal dari apa yang kita pahami sebagai internasionalisme.
Di Indonesia sendiri, internasionalisasi dimulai ketika format digital lebih lazim digunakan. Hal demikian dipengaruhi faktor aksesibilitas yang menjadi jauh lebih mudah. Keterlibatan Indonesia dalam jejaring film internasional juga menjadi salah satu wujud solidaritas sekaligus menjadi corong untuk memperkeras suara yang ingin diusung oleh tiap pembuat film. Festival Film Dokumenter (FFD) 2023, misalnya, memiliki posisionalitas yang jelas: penolakan terhadap opresi otoritas pemerintah lewat sensor film dengan menayangkan beberapa film-film yang dicekal di negara asalnya. Tedious Days and Night (2023) dan Song of Souls (2023) merupakan salah dua film yang dipertontonkan dan mengikuti kompetisi film panjang internasional dalam gelaran festival tersebut. Guo Zhenming, sutradara Tedious Days and Night (2023), mengalami pengrusakan paspor oleh pemerintah provinsi Yunnan, China dan membuatnya tak bisa melakukan perjalanan ke luar negeri; upaya represi yang disebabkan karena Guo turut menyinggung tragedi pembantaian Tiananmen pada 1989. Film Song of Souls (2023) di sisi lain berusaha menyentuh dan menggambarkan interaksi kebudayaan menjadi bekal resistensi masyarakat sipil di tengah gemuruh perang sipil dan kooptasi oleh junta militer di Myanmar.
Penayangan film-film dengan isu kemanusiaan lalu menjadi ekstensi atas solidaritas internasional. Film sebagai medium audio-visual dapat secara efektif menyajikan realitas yang terjadi di belahan dunia lainnya, suatu realitas yang tak banyak orang ketahui – lebih-lebih pernah dirasakan secara personal. Meski dekolonisasi global secara masif dan sistemik masih jauh dari ideal dan bisa dilaksanakan secara optimal dalam lanskap film, kiranya jejaring solidaritas dapat menjadi ruang eksplorasi pertama yang memungkinkan terbentuknya gerakan-gerakan dekolonisasi terealisasikan.