Instalasi dapur, foto cetak 2R 3R 5R 10R, video
2024
Kurator: Ragil Cahya Maulana
Lokasi Karya: Joglo RT 01
Mia awalnya tertarik bikin album foto sebagai arsip keluarga di Padukuhan Sawit. Untuk itu, ia mukim di Sawit selama beberapa waktu dan merekam kehidupan warga dari hari ke hari. Di masa mukimnya, Mia nongkrong bersama beberapa keluarga, ikut forum-forum RT, PKK, dan Posyandu, serta terlibat dalam kerja keseharian warga Sawit meski bangunnya agak kesiangan. Singkat kata: Mia menjadi warga Sawit. Album foto yang ia bayangkan memang berisi aktivitas sehari-hari, tidak hanya momen-momen ‘penting’ seremonial saja. Juga ada ‘sesuatu yang penting dilihat’ dalam aktivitas sehari-hari, semacam nilai-nilai kehidupan di balik gerak tubuh para keluarga di Sawit. Itulah yang ingin diungkap Mia dalam proses berkaryanya. Apa saja nilai-nilai kehidupan itu?
Dari pengalamannya menjadi warga Sawit, Mia merasakan kemandirian, kebersamaan, keteguhan, keluwesan, dan keterbukaan sebagai nilai-nilai hidup yang penting. Ada keluarga-keluarga yang mengusahakan kemandirian melalui lelaku pangan, ada yang merawat kebersamaan lewat mekanisme forum dan senam, ada sosok-sosok yang teguh mendedikasikan dirinya pada seni-budaya, dan hampir semua warga yang Mia temui menunjukkan sikap terbuka serta luwes menghadapi berbagai situasi. Dalam keseharian, semua itu memang terasa biasa—seperti udara, seperti napas. Namun, justru itulah modal hidup para keluarga di Sawit. Mereka merawat modal itu lewat gerak dan konektivitas. Di balik para keluarga yang terhubung melalui gerak, ada modal-modal sosial yang disambung dalam jarak.
Perihal gerak dan konektivitas itu membuat Mia menjajaki lain bentuk. Album foto lalu dilengkapi video dan rekaman suara, yang lebih afdol menampilkan gerak serta membunyikan tutur. Sebagai medium pengarsipan konvensional, ketiga bentuk itu sebenarnya merekam saudara kembar mereka: tubuh, ruang, dan pertemuan. Para keluarga di Sawit menyimpan kenangan, khazanah pengetahuan, informasi, dan data mereka dalam gerak tubuh, mengolahnya menjadi ruang, dan mentransfer serta mem-backup segala anasir arsip itu lewat pertemuan. Inilah medium sekaligus metode pengarsipan kontemporer warga Sawit. Dengan catatan: beberapa kelompok usia juga meracik metode kontemporer ini dengan foto dan video sebagai bumbu tambahan. Nah, Mia memasak racikan itu menjadi karya, tentu dengan tambahan estetika sebagai penyedap rasa.
Ketika bahan masih setengah matang pun, karya Mia menguarkan satu aroma kuat: aroma dapur. Modal sosial dan lelaku pengarsipan kontemporer tadi senantiasa disokong oleh kerja perdapuran. Ini tampak niscaya, tak terelakkan. Di level personal, dapur menyuplai gizi bagi gerak tubuh keluarga; aktivasi dapur dan produknya juga menyumbang serta menyambung kisah hidup. Di level komunal, platform dapur kolektif bernama rewang adalah bahan bakar yang menjaga kompor konektivitas tetap menyala. Rewang menghubungkan banyak kepala, menyambungkan para keluarga. Dalam rewang, distribusi gizi dan pengetahuan terjadi; modal sosial digodok dan dibagi-tukarkan. Dari hasil perekaman Mia, nyaris tak ada peristiwa komunal di Sawit yang tak melibatkan anasir dapur: mulai dari tongkrongan ronda, rapat RT, jamasan, hingga ritual keagamaan. Perkakas dapur seperti gelas dan piring juga tersimpan di gudang balai warga. Dalam kenyataan sehari-hari di Sawit, dapur adalah garda depan kebudayaan.
Ironisnya, dalam kebudayaan Jawa-Mataraman, dapur sebagai ruang dan platform justru punya posisi imajiner ‘di belakang’. Dapur ditempatkan sebagai benteng terakhir pertahanan hidup, ia di-wingking-kan. Dalam arsitektur Jawa tradisional, pawon (dapur) terletak di bagian belakang rumah. Frasa urusan pawon juga dimetaforkan sebagai perkara internal keluarga, yang tak sepatutnya diumbar, seyogyanya disimpan rapat. Ora kabeh urusan pawon mbok suguhno. Tak semua cerita keluarga perlu dibuka. Tapi, bagaimana jika cerita itu mengandung modalitas penting? Mia merespons situasi itu dengan menjadikan pawon sebagai lokus presentasi karyanya. Foto-foto para keluarga Sawit ia suguhkan di ruang instalasi berbentuk dapur. Ruang instalasi itu sekaligus berfungsi sebagai set studio foto, Mia mengundang beberapa pihak untuk membuat foto keluarga di sana. Ini adalah ikhtiar artistiknya untuk menunjukkan signifikansi pawon dalam kehidupan personal-komunal kita, sekaligus menyibak peran lain pawon sebagai ruang pengarsipan lintasdisiplin.
Ma’rifatul Latifah (Bangkalan, 1997) merupakan seniman, aktor dan performance yang sering kali karyanya mengangkat isu sosial dan perempuan. Saat ini sedang menempuh magister seni di Pascasarjana ISI Yogyakarta. Iya tergabung dalam kolektif seni Kamateatra Art Space (2019) dan Perempuan Xpresif (2022). Aktivitas kesenian yang diikuti diantaranya; penyaji monolog terbaik 2 dalam Parade Monolog Sidoarjo se-Jawa Timur Gerbangkertasusila (2021), D’tik Art Production (2022), Parade Gaya Berkebaya “Kebaya Goes to Unesco” (2022), Asana Bina Seni (2023), Platform Teater Eksperimental dan Kontemporer Lombok (2023), – Pentas Selamat Datang – pertunjukan dan diskusi naskah Paè’na Bhàbàr di Bangkalan (2023), Temu Seni Teater Monolog – Indonesia Bertutur (2023), Lokakarya Pawon Mumbul – FKY (2023), Baku Pandang – Biennale Jogja 17 (2023), Jatim Art Forum (2023), Borobudur Writers and Cultural Festival (2023), IDRF 2023 di IFI Yogyakarta (2023), Babad Lembana di Sumenep (2023), Pelatihan Keaktoran Metode Suzuki di KSJ Purnati (2024).