Tafsir Kuasa Agraria
Seniman : Shodiq
300 cm x 300 cm x 300 cm
Mixed Media: Tembakau, Kawat, Mimbar, Lem dan Karton
2023
Kurator: Sekar Atika
TAFSIR KUASA AGRARIA : Sebuah Titik Balik
Manusia ketika dilahirkan ke dunia pasti akan dilingkupi dan berhadapan dengan tatanan nilai yang sudah mapan di masyarakat. Nilai-nilai tersebut ialah hasil dari eksternalisasi generasi sebelumnya yang sudah mendapatkan legitimasi, kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya melalui interaksi sehari-hari. Nilai-nilai itu kemudian tumbuh dan mengakar menjadi pengetahuan lokal, salah satunya adalah tradisi nyabis. Nyabis atau yang sering disebut dengan sowan dalam bahasa Jawa adalah kegiatan mendatangi ulama oleh masyarakat daerah Probolinggo. Kebiasaan ini diadopsi dari kalangan etnis Madura dimana masyarakat biasanya datang berkunjung ke ulama dengan tujuan mendapatkan jalan keluar untuk permasalahan yang sedang dihadapi. Saat melakukan nyabis masyarakat biasanya diberikan beberapa rapalan doa untuk dibaca. Kebiasaan ini tentunya tidak lepas dari posisi ulama sebagai elite agama Islam. Keberadaan ulama yang memiliki banyak peran di masyarakat menjadikanya diistimewakan. Ulama juga dianggap mempunyai pengetahuan lebih sehingga dijadikan tempat bertanya atau tumpuan orang-orang meminta nasihat untuk berbagai kesulitan yang dihadapi. Bagi mereka, nyabis ditujukan untuk mencari barokah melalui doa doa dan wejangan yang diberikan, begitu pula dengan para ulama kemudian menggunakan nyabis sebagai proses dakwah.
Permasalahan yang seringkali disampaikan masyarakat kepada ulama pada proses nyabis adalah mengenai pertanian tembakau, salah satu mata pencaharian terbesar masyarakat kawasan Kabupaten Probolinggo. Pada karyanya kali ini, Shodiq yang hidup di lingkungan petani tembakau dengan latar budaya Islam yang lekat, mencoba membaca ulang tradisi nyabis dengan melihat realitas hidup di masyarakat. Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu kawasan di Jawa Timur penghasil kualitas tembakau terbaik. Wilayahnya berada di lereng gunung membuat sebagian masyarakat memanfaatkan lahan yang dimiliki untuk bertani tembakau. Namun, komoditas tembakau saat ini bukan lagi layaknya “emas hijau” seperti pada masa lalu. Banyaknya anomali cuaca ,perubahan iklim dan kemarau basah membuat curah hujan tidak menentu di kawasan tersebut. Hal ini seringkali membuat para petani resah ketika musim tembakau tiba. Tingginya curah hujan seringkali membuat tembakau menjadi busuk, terlebih banyaknya modal yang dibutuhkan untuk menanam tembakau membuat banyak petani rela berhutang meskipun dengan bayang-bayang resiko gagal panen.
Melalui karya berupa instalasi yang dibuatnya dari tembakau gagal/tidak layak jual Shodiq mencoba memberikan makna baru tentang banyaknya masalah yang dihadapi masyarakat khususnya petani tembakau. Diantara persoalan yang dihadapi, kini persoalan ekologi menjadi persoalan genting namun nyaris terabaikan. Kekhawatirannya kemudian direpresentasikan dengan tembakau gagal/tidak layak jual dibalutkan pada kawat serta dibentuk menyerupai huruf arab pegon. Bentuk visual huruf arab pegon sebagai metafora tradisi nyabis, menggambarkan bagaimana tradisi tersebut lahir dan hidup sebagai pengetahuan di masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Nyabis juga menjadi jalan kuat mereka mencapai cita rasa hidup komplit. Hal itu karena nyabis dianggap dapat menjangkau berbagai hal kasat mata dan adikodrati. Sedangkan mimbar digunakan sebagai representasi kuasa, mencerminkan latar belakang budaya Islam yang kental membuat peran ulama menjadi dominan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi.
Pada proses penciptaanya, Shodiq mulai menelusuri bagaimana peranan tradisi nyabis dan kuasa pada perubahan lingkungan yang terjadi di Kabupaten Probolinggo. Dia mulai menyoroti bagaimana ulama yang sebelumnya menggunakan tradisi nyabis untuk proses syiar agama Islam, sebaiknya kini mulai ikut serta membaca kenyataan hidup. Lebih jauh nyabis dapat juga digunakan oleh ulama untuk menggaungkan berbagai masalah ekologi dan perubahan iklim yang berdampak pada pertanian tembakau. Tradisi yang secara alamiah memperkuat naluri masyarakat dapat digunakan sebagai jembatan untuk menyampaikan persoalan krisis iklim, sedangkan kuasa yang dimiliki sebagai sarana pemantik kesadaran untuk bersama sama menjaga lingkungan.
Bagi Shodiq, karya ini seperti sebuah renungan bahwa nyabis bukan hanya tradisi untuk memecahkan masalah perorangan. Apabila ditelusuri tradisi ini dapat menyelesaikan akar permasalahan yang mempengaruhi proses pertanian tembakau itu sendiri. Nyabis sebenarnya mempunyai peran yang sangat besar sebagai ujung tombak dalam proses menyadarkan pentingnya merawat alam, apabila pada praktiknya dilakukan dengan kepekaan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Begitulah karya ini dibuat bukan hanya menyoal tentang apa yang dia lihat di kampung halamanya, namun bagaimana Shodiq ingin masyarakat melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarnya. Menjadikan tradisi sebagai sebuah titik balik pemanfaatan kuasa yang dimiliki untuk ikut serta membuat perubahan.
Profil Seniman : Shodiq
Muhammad Shodiq, lahir di Kabupaten Probolinggo, Jawa timur pada 27 Desember 2001. Shodiq merupakan seorang seniman yang sedang menempuh studi di jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta. Shodiq terlahir dan dibesarkan dari lingkungan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada tembakau di wilayah Probolinggo. Dalam pendekatan riset artistiknya, Shodiq memposisikan diri sebagai bagian dari realitas masyarakat yang didekati dalam karyanya, yakni petani tembakau. Ia mendekati berbagai subjek dalam isu pertanian tembakau, dari mulai petani, tengkulak, hingga buruh pabrik. Ia menuangkan eksplorasinya terhadap isu tersebut melalui berbagai media, seperti lukisan, performans, instalasi, dan musik.