Salah satu dari sebelas seniman yang ikut serta pada ‘MANTRA’ sebuah presentasi karya dari para seniman yang terlibat dalam kelas Asana Bina Seni 2021 adalah Candrani Yulis, seniman lulusan Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Karya instalasinya yang berjudul ‘Lalu Kami Memilih’ yang mengambil tema besar identitas dan berfokus kepada komodifikasi atribut agama, terutama ‘tren’ berhijab.
Candrani Yulis adalah seorang seniman yang aktif berpameran menggunakan berbagai medium. Ia sering memakai gaya dan media yang berbeda, dan baru saja mendalami instalasi dalam tiga tahun terakhir ini. Ia telah berpameran sejak masih sangat belia – bermula dengan melukis dan seni dua dimensional lainya, hanya dengan kertas atau kanvas. Baru setelah itu, cukup lama ia memulai proyek karya instalasi. “Empty Nest” (2019) menjadi karya instalasi ukuran besar pertamanya, dan sejak itu ia telah menjadi lebih berani untuk membuat karya instalasi besar tapi juga dengan pilihan temanya.
‘Empty Nest’ tidak hanya menjadi batu pijakan dari karya dua dimensional ke karya instalasi besar seperti karya untuk Asana Bina Seni ini, namun juga menjadi contoh pendekatan Candrani saat berkarya. Ia selalu mengambil tema-tema yang dekat dengan dirinya, dari pengalaman dan pertanyaan-pertanyaan pribadi dan karya yang dihasilkan tidak berjarak dengan dirinya. Dalam karya ‘Empty Nest’, ia bercerita tentang rasa kehilangan orang tua.
Walaupun banyak mengambil tema-tema dari dirinya sendiri, dalam proses berkarya, ia tidak hanya melihat lingkunganya sendiri untuk mendalami tema tersebut. Setelah memilih konsep, ia akan melakukan riset tidak hanya lewat bacaan, namun juga lewat banyak berobservasi keluar lingkungan sekitarnya, untuk mencari sudut pandang berbeda yang mungkin tidak dekat dengan dirinya sendiri. Sudut pandang berbeda-berbeda ini lah yang akan menjadi rujukan visual untuk karyanya.
Untuk karya ‘Lalu Kami Memilih’ yang dipamerkan dalam “MANTRA” Asana Bina Seni 2021 ini, temanya lebih mengarah kepada iman dan pakaian yang berhubungan dengan agama. Judulnya sendiri merepresentasikan bagaimana kita memilih pakaian yang akan kita kenakan untuk merepresentasikan diri kita sendiri, secara spesifik mengacu ke bagaimana perempuan memilih untuk memakai hijab.
Ia menemukan ada perdebatan terkait ini, dengan banyak sekali sudut pandang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa memakai hijab bukan kewajiban karena maknanya adalah berpakaian dengan sopan, maka bisa dikatakan yang penting menutup auratmu, tapi ada juga yang mengatkaan bahwa menutup seluruh rubuh adalah bagian dari iman.
Ia dibesarkan di lingkungan pesantren, dimana pakaian kesopanan di komunitas itu adalah dengan cara menutup rambut, dengan berhijab. Dengan bertambah waktu, ia juga melihat gaya hidup yang ia sebut sebagai semakin ‘ke-Arab-Araban’ di sekitarnya. Salah satu contohnya adalah bertambah kencangnya narasi untuk yang tidak berhijab diwajibkan berhijab, dan bagaimana yang sudah berhijab pun jenisnya atau caranya menutupinya masih kerap di pertanyakan. Ini semua isu-isu yang ia sebut dekat dengan situasinya saat ini.
Isu-isu ini semua ada dan terus berkembang di lingkungan seperti yang ia dibesarkan karena doxa atau bagaimana ide-ide tidak dipertanyakan ulang oleh masyarakat karena itu telah dianggap sebagai hal biasa, karena sudah mulai hadir dan berkembang di masyarakat dengan sendirinya tanpa upaya untuk dikaji atau dipertanyakan ulang.
Dari tema itulah Candrani mulai untuk observasi lebih lanjut pada tahun 2019. Ia mulai riset dengan fokus yang telah bertumbuh yaitu tentang pakaian religius, salah satunya ialah hijab, dan kenapa sekarang banyak orang yang deman ajakan berhijab ini. Semakin lama, semakin risetnya mengarah ke tema ranah komodifikasi agama.
Ia menjelajah pengertian politik identitas pada tubuh manusia, hal-hal fisik yang menampakkan, sebagai contoh, keimanan sekelompok orang. Dirinya mempertanyakan ulang bagaimana melihat orang yang berpakaian dan terlihat religius, contohnya memakai hijab, apakah harus dari penampilan fisik saja, atau apakah ada hal-hal lain yang jauh lebih esensial terlepas dari apa yang tampak di mata orang lain yang lebih penting untuk dipertimbangkan.
Saat membicarakan hubungan yang ia punya dengan tema ini, ia bercerita: “Suatu hari, ditemukan sandal dengan tulisan Arab. Saat itu, banyak orang-orang sekitar yang marah besar, karena menganggap bahwa tulisan Arab yang diinjak-injak itu adalah dari ayat-ayat Al-Quran. Namun, kenyataannya, tulisan di sandal itu adalah kiri dan kanan, jadi tidak berhubungan dengan agama,” ungkapnya.
Dari cerita ini, dan keadaan di lingkungan sekitar, ia melihat bagaimana tidak hanya segala sesuatu yang berbau Arab menjadi hal yang sakral dan suci, tapi juga bagaimana sekarang ada lahan yang subur untuk komodifikasi atribut agama.
Untuk mendalami tema ini ia mendatangi ke toko-toko pakaian Muslim, memakai temuan observasi yang sebelumnya sebagai pijakan. Meski mempunyai tujuan yang akhirnya sama, yaitu menutup rambut, Ia menemukan banyak sekali mode hijab yang berbeda, dengan banyak warna berbeda dan terkadang tulisan dalam Bahasa Arab atau ejaan yang telah di ‘Arab-Arab-kan’.
Mencari mode yang menarik dan sedang trend, ia menemukan banyak warna-warna pastel, yang akhirnya menjadi pusat perhatian visual untuk karya Asana Bina Seninya. Dengan ini, ia bisa memindahkan gagasan-gagasan yang ia temukan dari pengalaman hidupnya sendiri dan dari observasi luas yang ia lakukan ke dalam konteks sebuah karya instalasi ‘Lalu Kami Memilih’.
( Aradi Ghalizha Pradhanayuda Priyanto )