The Unseen Self
Seniman : Nisa Ramadani
Variable Dimensions
Instalasi Multimedia
2023
Kurator: Ima Gusti
The Unseen Self
Karya ini merupakan proyek eksperimen performatif tubuh melalui eksplorasi dengan kamera dan cermin. Nisa berfokus pada percobaan perangkat tubuh, dimana mata untuk menatap dan tubuh untuk menciptakan pose. Di mana gerak tubuh dapat berfungsi sebagai medium komunikasi non-verbal yang kuat. Ekspresi tubuh, gestur, postur, dan gerakan fisik lainnya dapat menyampaikan pesan yang kaya akan emosi, niat, dan informasi kepada orang lain. Seniman mencoba untuk menampilkan pose hasil jepretannya yang sudah terkurasi sebagai sarana untuk menyampaikan cerita, emosi, dan makna. Eksperimen menggunakan bahasa tubuh ini kemudian ditujukan untuk menciptakan kemungkinan komunikasi mengenai pesan kompleks dari narasi seniman dapat disampaikan tanpa kata-kata.dengan lebih intuitif, universal, dan dapat dimengerti oleh berbagai budaya dan bahasa.
The Unseen Self adalah sarana berbagi cerita Nisa mengenai pengalaman privatnya yang kerap menerima kritik atas bentuk tubuh yang dianggap tidak ‘ideal’. Hal itu menjadi batu pijak Nisa untuk membuka lembar kajian gender mengenai tatapan atau ‘gaze’ masyarakat terhadap perempuan, pun cara tatap Nisa terhadap dirinya sendiri. Risetnya menggunakan observasi sosial terhadap subjek-subjek perempuan di sekelilingnya membawa pikirnya menginjak langkah lanjutan. Dimana ia pun menyadari bahwa mereka secara aktif mengevaluasi pose tubuh (untuk menuju tatapan tubuh ‘ideal’, misal: agar lebih kurus, lengan lebih kecil, paha lebih panjang, pipi lebih tirus, dll.) terutama saat berfoto bersama baik sadar ataupun tidak. Walaupun tidak jarang orang menganggap konstruksi tubuh ‘ideal’ bersifat subjektif dan dinamis, nyatanya dalam konteks umum, konstruksi tubuh ideal sering kali merujuk pada standar keindahan dan proporsi tubuh yang dianggap menarik secara kesepakatan bersama. Tanpa disadari persepsi tubuh ideal pun terus menjadi sumber kecemasan dan ketidaknyamanan atas tubuhnya sendiri.
Nisa yang kemudian mengorek perihal tatapan jatuh pada term male gaze, yakni penggambaran perspektif atau pandangan objektif seorang pria terhadap dunia, terutama dalam kaitannya dengan gambaran seksualitas dan objektifikasi wanita (Handayani, 2017). Meskipun konsep male gaze sendiri telah menjadi topik diskusi yang signifikan dan umum, dalam karya ini seniman menyampaikan perjalanan pengevaluasian dirinya dari pengalaman verbal abuse mengenai tubuhnya yang berulang kali ia terima yang membawanya pada pengujian cara tatap pribadinya terhadap tubuh ia sendiri (tubuh sebagai ruang tampil) dan berusaha membongkar kesadaran diri atas pilihan dalam menatap diri, apakah pilihannya tersebut dikonstruksi oleh konsep male gaze atau telah memiliki kekuatan agensi diri. Lebih lanjut gagasan ini juga berangkat dari kesadaran akan perempuan pun memiliki aspek patriarkis yang terinternalisasi oleh perempuan. Situasi dimana pemahaman, sikap, dan perilaku yang tercermin dari sistem nilai patriarki yang mendominasi masyarakat tertanam pada perempuan. Hal ini dapat mempengaruhi cara perempuan memandang diri mereka sendiri, hubungan mereka dengan orang lain, serta aspirasi dan tujuan hidup mereka. Bukan berarti perempuan secara aktif memilih atau setuju dengan sistem nilai patriarki internalisasi aspek patriarkis.
Eksperimen ini menitikberatkan pada subjek yang menciptakan berbagai pose di depan cermin dan memotretnya dengan kamera yang dioperasikan sendiri. Proses ini berlangsung selama empat belas hari tanpa jeda dengan durasi empat jam di depan cermin per harinya. Subjek yang merupakan diri Nisa sendiri bebas menentukan pose dan angle kamera dengan photo performance disertai dengan video dokumentasinya (video dokumentasi tidak ditampilkan) sebagai output karya. Foto-foto yang terdisplay merupakan hasil kurasi dari setidaknya empat ratus foto yang ia dapat dalam sehari pada saat eksperimen berlangsung.
Dalam prosesnya, eksperimen ini membagi gaze ke dalam tiga layer. Gaze layer pertama adalah tatapan subjek terhadap dirinya sendiri melalui cermin. Gaze layer kedua adalah tatapan subjek saat menyeleksi foto-foto yang akan dipamerkan. Gaze layer ketiga adalah tatapan apresian terhadap foto-foto terseleksi yang dipamerkan di publik. Performance sering kali terbuka untuk interpretasi dan pemahaman yang berbeda-beda. Setiap apresian dapat memiliki pengalaman pribadi yang unik terhadap karya yang ditampilkan. Hal ini memungkinkan adanya dialog antara penampil dan penonton, di mana penonton juga berkontribusi dalam menciptakan makna dari pertunjukan tersebut. Selain bertujuan untuk membongkar cara tatap terhadap tubuhnya sendiri (self-gaze), eksperimen ini juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi layer-layer identitas sebagai konstelasi penyusun cara tatap. Dengan kata lain, terdapat interseksionalitas yang bisa diuji dengan penggunaan berbagai kostum saat berpose untuk potret diri. Namun, pada eksperimentasi pertama ini, kostum yang digunakan adalah baju sehari-hari saat berada di rumah. Baju sehari-hari: representasi lokalitas. Rumah: ruang privat/comfort zone.
Profil Seniman : Nisa Ramadani
Nisa Ramadani (1995) adalah seorang aktor, penari, performer, dan penulis lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Nisa menggunakan tubuh sebagai bahasa ungkap utama dan banyak bekerja menggunakan materialitas dari objek keseharian sebagai titik berangkat untuk menciptakan metafora, baik secara puitis maupun ordiner. Baginya, tubuh dapat menjadi ruang representasi, ruang tampil, ruang eksperimen, dan ruang dialog yang terus-menerus bisa digunakan untuk membedah lapisan identitas diri serta dapat membentang diversitas lanskap sosial dengan segala polemiknya. Saat ini, Nisa aktif di kelompok belajar seni performans Proyek Edisi dan Kelas Raga Teater Garasi. Portfolio karyanya dapat disimak di https://nisaramadani.wixsite.com/seni.