Hari Minggu 28 Juli 2024, saya berencana untuk turut meramaikan salah satu kegiatan yang dilangsungkan oleh Noni, salah satu seniman Asana Bina Seni (ABS), yaitu menggambar bersama anak-anak RT 01, Sawit. Agenda akan dilaksanakan di joglo RT 01 dan rencananya dimulai sekitar pukul empat sore. Saya sampai di sana sekitar pukul 16.15, tepat beberapa saat sebelum kegiatan gambar-menggambar dimulai. Suasana sudah mulai ramai dengan anak-anak yang duduk bersila rapih. Sebagian datang dengan ‘amunisi’ yang lengkap dari meja lipat, krayon dan spidol. Di sebelah timur joglo, beberapa orang tua juga hadir sembari mengamati kegiatan dari samping.
Kegiatan yang dilakukan Noni jadi metode yang ia gunakan untuk mempererat kedekatan dengan anak-anak di Dusun Sawit. Selain dengan dimungkinkannya Noni untuk berinteraksi secara lepas, di sisi lain anak-anak pun lantas memperoleh momen untuk berkreasi hingga menggambarkan hal-hal yang muncul di pikiran mereka. Sebagai awalan, Noni mengajak anak-anak untuk melukiskan jajanan pasar. Namun, beberapa anak menjawab bahwa mereka tak pernah tau, lebih-lebih tak pernah dibelikan jajanan pasar oleh orang tua mereka. Ide menggambar pun kemudian diperluas, mereka dibebaskan untuk menggambar makanan apapun yang rasanya manis.
Di waktu yang bersamaan, upacara Siraman Pusaka (atau Jamasan Pusaka) juga tengah berjalan di Joglo Pringgo Wiyono, Sawit. Saya dan beberapa teman yang lain kemudian bergeser untuk menyambangi prosesi tersebut. Sesampainya di sana, keadaan joglo relatif ramai, dengan sebagian orang tengah duduk di joglo mengenakan pakaian adat Jawa. Di bagian tengah joglo terlihat dua orang laki-laki tengah membasuh keris menggunakan air dari dalam kendi.
Salah seorang tadi, Pak Bangkit yang merupakan peserta ABS sekaligus Dukuh Sawit, nampak sedang mengusap pusaka yang baru saja dibasuh kemudian menaruhnya di atas meja. Setelah saya amati lagi, ternyata pada sepanjang gebyok joglo telah tertata rapi beragam pusaka yang baru saja dibersihkan. Ritus Siraman Pusaka merupakan bentuk penghormatan sekaligus upaya merawat pusaka-pusaka milik warga Sawit. Diadakannya upacara tersebut bertepatan dengan bulan Sura, bulan pertama dalam kalender Jawa.
Upacara benar-benar selesai ketika hari sudah petang. Kami yang masih berada di joglo pun diajak untuk memakan ayam ingkung beserta trancam sayur, opor telur, dan pisang. Meskipun awalnya sedikit malu-malu dan sungkan, kami lantas antri untuk mengambil piring dan satu per satu menaruh lauk pauk di atas piring kami. Sembari bergurau, sedikit demi sedikit makanan yang tertata di atas meja perlahan habis.
Kiranya hari ini menjadi hari yang cukup padat dengan kegiatan, batin saya. Tadi pagi pun sebenarnya juga terdapat kegiatan senam pagi yang dilakukan oleh para Ibu di area RT 01, namun saya tidak bisa hadir. Belum selesai menuntaskan pikiran tersebut, kami harus membereskan sisa-sisa kegiatan siraman pusaka karena esok hari joglo akan digunakan sebagai tempat untuk sosialisasi dan vaksin polio bagi warga Sawit. Tak lama, belasan Ibu datang.
Bagi saya sendiri, hal yang saya garis bawahi dalam rangkaian kegiatan itu bukanlah pada kegiatan seni yang terjadi, melainkan pada hal yang terjadi di antara dan selepas kegiatan berlangsung. Misalnya saja, sesaat setelah ibu-ibu datang ke Joglo Pringgo Wiyono, salah seorang Ibu meminta untuk dipasangkan tenda pada halaman joglo. Pak Dukuh lantas merespons bahwa sebelumnya perwakilan Ibu-ibu tidak ada yang meminta disiapkan tenda, dan saat itu waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam – akan sulit atau sungkan untuk meminta beberapa warga gotong-royong membangun tenda.
Walau demikian, pada akhirnya datang dua orang bapak-bapak yang kemudian mulai mengeluarkan besi-besi tenda dari gudang. Sontak, kami para peserta Asana Bina Seni yang masih berada di joglo, membantu mengeluarkan rangka besi tenda yang terdiri atas beberapa ukuran. Tak ada satu jam kemudian, tenda sudah berdiri tegak. Agaknya lucu, bahwa rangkaian kegiatan hari itu akan saya tutup dengan acara membantu memasang tenda, yang sebetulnya saya merasa sumbangsih kami jauh dari kata besar.
Spontanitas semacam tadi tidak hanya terjadi sekali dua kali. Di kesempatan yang lain, sesaat setelah aktivasi workshop Jahita atau Jahit Tangan bersama Matrahita berlangsung, saya dan Jenita menengok ruangan di belakang gebyok joglo RT 01 karena mendengar suara lantunan gamelan. Ketika kami lihat, ternyata terdapat lima buah gamelan yang terdiri atas demung, saron, kempul, kendang, dan gong. Menurut cerita salah satu Ibu, gamelan tadi merupakan hadiah dari lomba jathilan yang mereka ikuti. Kami kemudian membunyikan gamelan dan perlahan ruangan menjadi hidup dan orang-orang yang tengah duduk di joglo berdatangan. Satu per satu kami bergantian menabuh gamelan, dan beberapa orang menari sekenanya.
Saya juga teringat momen lain ketika saya duduk menunggu Mia untuk pergi ke salah satu rumah warga. Kala itu, saya justru ditawari oleh salah seorang Ibu untuk menyantap bakmi dan gorengan yang dibawa oleh pedagang keliling. Kiranya hal yang menjadi perekat dan jembatan interaksi lebih jauh dengan warga Sawit ialah momen-momen spontan dan tidak terduga, layaknya beberapa fragmen di atas – alih-alih dari interaksi intens dan terencanakan. Interaksi yang spontan, selain menjadi bentuk atas penembusan bubble sosial yang lebih dalam, juga lebih dekat menangkap realitas yang warga Sawit alami sehari-hari. Interaksi sosial yang melintas batas dan terjalin sehari-hari memang perlu diupayakan oleh peserta Asana Bina Seni, terutama untuk terus menjaga keterjalinan dan kebersamaan.
Editor: Amos Ursia